Mario Reading, Nostradamus: Wangsit Siliwangi tentang Soekarno

Ternyata naiknya Soekarno menjadi
Pemimpin Republik Indonesia
telah diramalkan oleh
Siliwangi 400 tahun sebelumnya. 

Membaca buku buku ramalan tidak akan pernah membosankan, terlepas dari absurd dan ngawurnya sebuah ramalan. Namun pesona Nostradamus berhasil menyihir para pengikutnya karena kredibilitas ramalan ramalannya. Yang paling spektakuler tentu saja ramalan tentang serangan terhadap menara kembar World Trade Center, NY. Di negeri ini orang yang paling getol mengutip ramalan ramalannya adalah Permadi, SH. Seorang paranormal yang juga politikus. Dan ramalannya adalah Indonesia bakal menjadi negeri gilang gemilang! Amin!

Nostradamus adalah orang Prancis yang Katolik sekaligus Yahudi. Lahir pada tahun 1503, kurang lebih saat VOC mulai datang ke Sunda Kalapa. Mungkin sumber ajarannya adalah Talmud dan kabbalah yang misterius itu.  Uniknya dia lulus sebagai dokter dari Universitas Montpellier yang sangat dihormati kala itu. Namun sebuah tragedi menyebabkan istri dan dua anaknya meninggal. Didorong kehilangan yang menyakitkan itu, dia berkelana ke berbagai wilayah dari Prancis sampai Italia. Kembali bertemu jodoh dengan seorang janda, namun perubahan besar dalam hidupnya adalah kecenderungan untuk mulai menekuni ilmu ramal meramal ini.

Ia menulis buku 'Centuries' yang mengejutkan itu. Ia mendapatkan popularitasnya, namun akhirnya mengakui bahwa praktik pribadinya sebagai paranormal jauh lebih menguntungkan ketimbang publisitas yang banyak menuai hujatan. Dan tentu saja berbahaya bagi keselamatannya. Ia meninggal pada 2 Juli 1566 akibat penyakit rematik dan jantung, percis seperti yang diramalkannya.

Dalam buku ini, Reading menuliskan ramalan ramalan Nostradamus mulai dari tahun 2001 sampai tahun 7074, Wow! Namun saya pernah mendengar isi sebuah ramalam Nostradamus lewat penuturan Permadi, SH yang dengan tepat meramalkan kehadiran Hitler dengan segala perang peperangannya. 

Kembali ke buku, Nostradamus menuangkan ramalannya dalam bentuk kuatrain. Ditulis dalam bahasa Prancis, ia bagai puisi puisi indah namun multitafsir. Kalimat kalimat yang disusunnya tidak  secara jelas dan detail menerangkan maksud yang terkandung. Diperlukan seorang yang pro untuk dapat menangkap apa yang tersurat dan tersirat di dalamnya. Disusunnya ramalan ramalannya dalam deretan tahun demi tahun. Sayang Mario hanya memulainya dari tahun 2001, sehingga kita tidak bisa menikmati kehandalan ramalan ramalannya sebelum tahun 2001.

Tahun 2001 misalnya ia mengatakan :
Bumi bergetar, api dari pusat bumi akan mengguncang menara menara di kota baru
Akibatnya, dua batu besar akan terlibat dalam perang panjang
Hingga Arethusan mengalirkan sungai dengan darah segar.

Tafsirannya begini : menaranya jelas WTC, kota baru? ya New York itu, bos. Dua batu besar berperang, dua agama besar berperang karenanya (tebak sendirilah). Dan Arethusan? Ada mitos tentang Arhetusa dengan sumber air legendarisnya di Ellis. Ellis Island adalah salah satu gerbang masuk kota New York...... 

Believe it or not.

Up date 22 Desember 2012 : saya baru sadar tahun kelahiran Nostradamus kurang lebih sejaman dengan saat Prabu Siliwangi terakhir bertahta. Dua duanya lahir dengan karunia melihat masa depan. Raja Pajajaran ini pernah meramalkan penjajahan Belanda dalam waktu yang lama di Nusantara.

Kala itu Prabu Sedah Raga Mulya Suryakancana berpidato di hadapan rakyat dan pengikut setianya. Di tengah suasana murung yang menyelimuti Pajajaran, beliau mengucapkan pidato perpisahan monumental yang kemudian dikenal dengan Wangsit Siliwangi. 



“Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

“Perjalanan kita hanya sampai hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Aku tidak boleh membawa kalian menjadi turut menderita, hina dan kelaparan. Kalian boleh memilih, demi masa depan, jalan untuk hidup bahagia dan sejahtera, dan kelak mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdiri di tengah perubahan jaman! Pilih! aku tidak akan menghalang halangi. Sebab bagi ku, tidak pantas seseorang menjadi raja ketika rakyatnya lapar dan menderita.”


Dalam mukadimah wangsitnya, Suryakancana mengakui ini lah saat saat senja Pajajaran. Suatu pengakuan yang jujur dan realistis. Di saat seperti itu, beliau mempersilakan rakyat dan pengikutnya untuk menimbang nimbang berbagai pilihan. Tulus beliau katakan, pilihan untuk tetap setia pada raja saat itu adalah pilihan untuk menderita dan kelaparan. Tidak ada larangan untuk mereka yang tidak akan menempuh jalan raja.

Inilah tipikal mental raja atau urang Sunda jaman baheula. Jujur, tegas, dan mengedepankan harga diri. Sikap serupa pernah ditunjukkan Prabu Lingga Buana dan Dyah Pitaloka di perang Bubat. Mereka lebih baik mati dari pada hidup ditengah bayang bayang penghinaan orang lain.

Dengan mukadimah wangsit ini juga saya cenderung menolak anggapan bahwa yang membuat wangsit adalah Siliwangi I alias Sri Baduga Maharaja. Pada saat beliau bertahta, Pajajaran sedang dalam puncak keemasannya. Wangsit seorang raja yang digjaya tidak mungkin semuram mukadimah ini.

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!


Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke ibukota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!


Empati seorang raja terhadap suasana psikologis pengikutnya. Raga Mulya tanggap menangkap apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran rakyatnya kala itu. Alih alih memaksa untuk setia mengikuti rajanya, beliau malah memberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup. 

Sebagian yang setia pada raja akhirnya benar benar pergi ke selatan. Mereka pada umumnya mengambil rute Pakuan, Bantar Gadung dan akhirnya Palabuhanratu. Setidaknya rute ini terdokumentasi dalam Pantun Bogor. Mereka yang ke selatan inilah yang akhirnya membuka permukiman baru, Palabuhanratu. Namun pelarian melalui rute ini tidak lah mudah. Karena saat itu Pasukan Banten masih tetap mengejar sisa sisa pasukan yang setia kepada Raga Mulya. Kisah kisah menarik mewarnai perburuan terakhir darah biru Pajajaran. Termasuk di dalamnya cinta, pengkhianatan, keyakinan, dan peperangan itu sendiri. Sebuah epik yang mengharu biru, namun terkubur dalam debu sejarah. Anda dapat menyimaknya di link ini.

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dengarkan! Kalian yang memilih ke timur harus tahu: Kejayaan akan menyertai kalian! Keturunan kalian bakal memerintah di antara kalian sendiri dan juga orang lain. Tapi ingat, kalian nanti bakal lupa diri. Bakal ada pembalasan untuk ini. Silahkan pergi!

Obyek yang dituju kelihatannya merujuk pada kekuatan Kesultanan Cirebon kala itu. Angin jaman memang memihak Cirebon kala itu. Betapa tidak, kesultanan ini melewati masa keemasannya di bawah Sunan Gunung Jati, berfungsi dan dihormati sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Sunda, masih eksis di jaman Mataram Islam, bertahan selama masa penjajahan Belanda, dan kesultanan ini secara de fakto masih berdiri dalam kerangka Republik Indonesia (Kanoman dan Kasepuhan). Tidak salah kalau wangsit ini mengatakan mereka yang masih menginginkan kekuasaan untuk pergi ke Cirebon (timur) mengingat panjangnya umur kesultanan ini. Peluang untuk merengkuh kekuasaan terbuka lebar di sana. Namun kita tidak tahu kala itu siapa pengikut Raga Mulya yang benar benar pergi ke Cirebon. Dan turut berkuasa di sana, lupa diri, dan dan kemudian terkena karma.

Renungan lanjutan: barangkali saya terlalu sempit menerjemahkan paragraf ini. Timur yang dimaksud bisa juga merujuk pada Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Bukan kebetulan kalau Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, dan SBY berasal dari 'timur' (revisi 25/08/2013).

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. 

Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Kalian yang memilih pergi ke barat! Carilah Ki Santang! Sebab di masa depan, keturunannya akan menjadi orang bijak  yang akan mengingatkan diri kalian dan orang lain. Juga menjadi pengingat kepada bekas teman teman kalian senegara, dan seiman yang masih lurus hatinya. 


Ingatlah, bila suatu malam, dari gunung Halimun terdengar suara kentongan, itulah tandanya. Keturunannya akan dipanggil oleh yang mau menggelar hajatan di Lebak Cawéné. Jangan lamban, sebab telaga akan pecah! Silahkan segera pergi! Tapi jangan menoleh kebelakang!

Inilah bait bait pertama wangsit yang paling banyak menuai kontroversi sampai saat ini. Siapa ki Santang? Dimana Lebak Cawene? Namun mengingat tempat yang dimaksud adalah Gunung Halimun, kita bisa memperkirakan sebagian pengikut Raga Mulya memang ada yang  benar benar pergi ke tempat ini dan mendirikan permukiman baru dengan mempertahankan tradisi lama Pajajaran. Kita sekarang mengenalnya dengan Kasepuhan adat Banten Kidul. Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan di antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi. Visi raja yang mengatakan mereka yang pergi kebarat adalah orang orang netral, benar adanya. Dari jaman ke jaman, mereka tidak terdengar terlibat dalam politik pemerintahan yang berkuasa saat itu. Baik masa kesultanan Banten, Mataram Islam, Belanda, hingga Republik indonesia. 

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Kalian yang memilih ke utara, dengarkan! Ibukota yang akan kalian datangi takkan pernah bisa kalian temukan. Yang akan kalian temukan hanyalah padang ilalang yang harus dibersihkan. Keturunan kalian nantinya  kebanyakan hanya akan menjadi rakyat biasa. Kalau ada yang jadi pejabat pun tidak akan punya kekuasaan.  Ingatlah, kalian nanti akan terdesak oleh para pendatang. Dan akan banyak lagi orang yang datang, tapi pendatang yang menyusahkan. Waspadalah!

Ini adalah pilihan sebagian orang orang yang ingin kembali ke Dayeuh, ke Pakuan, bekas ibukota Pajajaran. Nampaknya banyak juga keturunan Pajajaran yang kembali ke Pakuan, atau kota Bogor sekarang dan beranak pinak disana. Mereka kelihatannya tipikal orang yang tidak bisa begitu saja menghilangkan memori tanah kelahiran. Namun inilah visi Siliwangi terhadap orang orang yang pergi ke utara : mereka kelak hanya akan menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang menjadi pejabat, tak kan punya kekuasaan. Dan yang lebih mengenaskan, mereka akan terdesak oleh para pendatang. Yang dalam bahasa Siliwangi : pendatang yang menyusahkan.

Visi Raga Mulya mengenai orang yang balik ke Dayeuh ini telah terjadi dan benar adanya. Mereka yang benar benar balik ke sana hanya menemukan bekas ibukota ini telah menjadi puing puing yang kemudian ditumbuhi ilalang semak belukar. Akhirnya lambat laun dilupakan orang. Reruntuhan bekas istana Pajajaran ini akhirnya ditemukan kembali oleh Scipio, orang Belanda yang melakukan penelitian mengenai Pajajaran sekitar 1687. Berarti hampir 100 tahun setelah Pakuan dibumihanguskan Banten.

Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.

Sekali lagi wangsit ini menunjukkan ketajaman visinya.  Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Sampai saat ini sulit hanya untuk mencari di mana tepatnya bekas istana Pajajaran di Bogor. Banyak spekulasi yang berkembang bahwa lokasi bekas istana Pajajaran kemudian dibangun Istana Merdeka (sekarang) oleh Belanda. Namun siapa yang berani memastikan?,   Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak. Dan anehnya bahkan tokoh Siliwangi pun banyak yang meragukan pernah hidup di Parahyangan ini. Ini komentar pembaca di blog saya yang lain, Kerajaan Sunda (kerajaan-sunda.blogspot.com): 

Saya tidak habis pikir, kenapa seorang ajip rosyidi mengatakan bahwa Kerajaan dan prabu siliwangi itu Tidak ada dan hanya mitos belaka. Beliau mengatakan tidak ada bukti bahwa kerajaan pajajaran itu ada. Padahal banyak sekali catatan sejarah, prasasti batu tulis dll yang menyebutkan bahwa kerajaan pajajaran itu ada dan prabu siliwangi adalah raja-nya.

 Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! wangsit  ini benar adanya!

Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.

Belum ada interpretasi.

Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.

Inilah ramalan Siliwangi yang paling spektakuler, meramalkan penjajahan Bangsa Belanda yang lama dan menguras begitu banyak harta kekayaan alam terlebih cara berpikir orang Sunda. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Dan lebih gila lagi karena kali ini ramalannya agak lebih detail karena menggambarkan suasana psikologis orang Sunda selama jaman penjajahan, Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan. Bukan kah banyak di antara kita beranggapan bahwa jaman Belanda adalah jaman normal, dimana segala kebutuhan didapat dengan mudah dan murah, situasi aman lagi! Bandingkan dengan jaman sekarang : mahal dan banyak rusuh!

Hanya ada hal kecil yang cukup menarik hati : Kenapa orang Belanda diasosiasikan dengan kerbau, bukan dengan singa atau binatang lainnya? kemungkinan karena pisik ini mewakili tampilan orang Belanda, tinggi besar. Wangsit ini jauh dari rasis. Jadi jauhkan pikiran anda dengan kerbau yang dibawa demonstran ke istana sekarang.

Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet (terjemahan saya : kunyuk). Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!

Ini masih jaman penjajahan Belanda. Saya beranggapan kata kunyuk merujuk pada birokrasi Belanda yang dikerjakan oleh orang pribumi dengan embel embel keningratan. Jabatan 'kunyuk' itu bisa berupa jabatan Bupati, atau sekedar pegawai administrasi/ juru bayar pada perkebunan tebu/ pabrik gula. Anda bisa menggambarkan betapa kunyuknya orang pribumi saat itu sehingga untuk meraih jabatan juru bayar pabrik gula saja sampai harus mempersembahkan anak gadisnya sendiri kepada sinyo Belanda. Tokoh yang paling tepat mewakili 'korban' upeti ini adalah Nyai Ontosoroh dalam tetralogi-nya Pramoedya Ananta Toer.

Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.

Interpretasi yang paling mungkin adalah bait ini melanjutkan kisah jaman dari bait sebelumnya. Maka datanglah era kerbau bule menyingkir diserbu para monyet. Apalagi kalau bangsa Jepang. Tanpa bermaksud rasis, bukankah tampilan orang Jepang (kala itu) kecil seperti monyet? Sekali lagi wangsit ini tidak rasis. Sebagaimana kebanyakan orang Sunda, raja ini memang polos dengan menyebut kata monyet apa adanya. Tanpa prasangka rasial, semata mata kesamaan pisik.

Kondisi saat serbuan Jepang ini dijelaskan dengan sangat rinci :
 ternyata, pasar habis oleh Jepang, sawah habis oleh Jepang, tempat padi habis oleh Jepang, kebun habis oleh Jepang, perempuan hamil oleh Jepang. Semuanya diserbu oleh Jepangkata monyet sudah saya ganti dengan kata Jepang untuk mempermudah interpretasi. Bukan kah demikian adanya waktu penjajahan Jepang? Hasil panen dikuras untuk memenuhi logistik tentara Dai Nippon. Dan ingat, ada jugun ianfu, wanita wanita kita yang ditipu Jepang untuk dijadikan budak nafsu para tentara Nippon tersebut. 

Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang? Saya lebih suka mengutip teks aslinya. Jelas kalimat ini merujuk pada perang dunia ke dua dimana pesawat tempur menjatuhkan bomnya. Bagaimana di tatar Sunda kala  itu. ada gambaran di wangsit ini dimana antar sesama orang Sunda berkelahi dengan sesamanya saat itu. Orang mengamuk tanpa alasan dan arah yang jelas. Yang jelas suasana ini terjadi saat tentara Jepang mulai kewalahan menghadapi sekutu. 

Tapi kecurigaan saya waktu itu adalah terbelahnya orang Sunda dalam dua kelompok besar. Mereka yang nasionalis mengikuti arus besar Soekarno dan kawan kawan, yang kebetulan menjadikan Bandung sebagai salah satu basis besar perjuangan. Yang lain adalah para Islamis Fundamentalis yang mengikuti Kartosuwiryo dengan gagasan Darul Islam Negara Islam Indonesia dengan basis Tasikmalaya. Sehingga dua kelompok orang Sunda ini saling berhadap hadapan dan banyak korban tewas tak berdosa. 

Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang. Masih menjadi misteri siapa orang seberang yang dimaksud, yang menghentikan 'perang saudara' ini. Mungkin kah Jenderal Nasution?

Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.

Woooowww ini lebih gila lagi. Coba tebak siapa penguasa di tanah Sunda yang bukan orang Sunda dan beribukan orang Bali. Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Ida Ayu Nyoman Rai (bukan Ade Rai) adalah puteri Bali yang kemudian menikah dengan Bapak Sosrodihardjo yang melahirkan Soekarno, Presiden seumur hidup (sama kayak raja ya?) Negara Republik Indonesia yang beribu kota di Sunda Kalapa!  Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran. Soekarno bukan turunan Pajajaran, dia keturunan Singasari (coba periksa lagi), Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala.....

Ini spektakuler !!! Kelahiran Soekarno telah di ramalkan Siliwangi, bahkan dengan sangat detail!

Saya ingin menginterpretasi lagi fenomena alam yang disebutkan mengiringi kelahiran 'kerajaan' baru tersebut.   ......anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang..... Terjemahan yang paling mungkin memang fenomena kemunculan bulan dan komet. Namun fenomena dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menyerupai penampakan bulan dan kilatan bintang di langit. Saya sudah membuat vidonya untuk itu :



Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.  Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.

Saya tidak yakin dengan interpretasi bait ramalan ini, tapi coba pertimbangkan :
* Bait ini di buat setelah bait mengenai kemunculan Soekarno.
* .....memelihara elang di pohon beringin. Anda mulai ngeh?
* ......Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya, kira kira cocok ngak profilnya?

Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukkan ke penjara. Lalu mereka mengacak-acak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.

Gelap.

Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.

Gelap.

Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.



Samar samar.



Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!

Gelap.

Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang Sunda dipanggil-panggil, orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.

Horeeee!!!! Nanti orang Sunda (baca Indonesia, boleh baca kebalik : ini soenda, ejaan lama era Soekarno) akan berjaya lagi! Tapi siap siap dulu pindah rumah, karena rumah saya tepat di kaki Gunung gede!.

Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!

Barangkali ini lah beberapa kesimpulan atau pokok pokok interpretasi atas wangsit Siliwangi :
> Wangsit ini merupakan ramalan kejadian kejadian besar yang akan terjadi di tanah Sunda mulai dari runtuhnya Pajajaran hingga munculnya Ratu Adil. 8 Mei 1579 tercatat sebagai tanggal keruntuhan Pajajaran, kapan munculnya Ratu Adil, siapa Ratu Adil, dari mana datangnya, adalah misteri yang sengaja diciptakan untuk menutup wangsit ini. 
> Wangsit ini merupakan pidato perpisahan dari seorang raja saat kerajaannya sudah tidak dapat bertahan lagi, dengan visi bahwa suatu saat Pajajaran akan kembali berdiri. Beberapa petunjuk diberikan bagi mereka yang masih percaya dengan kebangkitan Pajajaran baru. 
> Wangsit ini banyak meyebar kode atau istilah tersembunyi, sehingga kita dapat juga menyebutnya The Siliwangi Code. Anda dapat menemukan kode kode Lebak Cawene, Budak Angon, Pemuda Berjanggut, sampai Ratu adil di dalamnya.
> Beberapa peristiwa yang disebutkan dalam wangsit ini mungkin saja sudah terjadi. Tergantung anda menginterpretasikannya. Saya misalnya menginterpretasi salah satu bait dengan kemunculan Soekarno dan Republik Indonesia karena tempat,  momen dan orang yang disebut berkesesuaian. Atau tentang penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Semua perumpamaan dan peristiwa yang dijabarkan dalam wangsit berkesesuaian dengan realitas sejarah yang pernah terjadi.

( Terima kasih kepada Ganesha Nurahmad di nurahmad.wordpress.com yang telah menerjemahkan wangsit ini ke dalam bahasa Indonesia ). Bagi anda yang mengerti basa Sunda dan berminat membaca teks aslinya, silakan menyimak :

“Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

>> Dapatkan penawaran khusus buku ' Di Bawah Bendera Revolusi ' jilid pertama cetakan ketiga 1964. Klik disini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca