Ernest Hemingway, A Farewell to Arms, 1926

Ernest Hemingway, A Farewell to Arms. Tak baik menghakimi karya seseorang hanya dari sebuah novelnya. Saya 'berhasil' menyelesaikan membaca A farewell to Arms (1926) atawa Pertempuran Penghabisan terbitan Pustaka Jaya  terbitan 1975.  Agak sulit menerima gaya bertutur Hemingway bila kita terbiasa dengan gaya cepat Dan Brown atau John Grisham. Lambat dan nyaris tanpa kejutan sepanjang cerita. Maaf kalau saya memakai kata 'membosankan'. Memang kata itu rasanya kurang layak dialamatkan kepada pemenang Nobel sastra 1954 dan disebut sebut berpengaruh besar pada penulisan sastra setelahnya. Tapi begitulah. Memang setiap zaman melahirkan gayanya tersendiri. Gaya Hemingway terbaik di eranya, tapi pembacanya di generasi setelahnya punya pandangan lain. 

A Farewell to Arms sendiri merupakan novel berlatar perang dunia pertama. Adalah Frederico Henry, seorang Amerika imigran Inggris, yang turut berperang bersama Italia melawan Austria. Ia bertempur di Gorizia, sebelah utara Plava, perbatasan Italia - Austria. Hemingway melukiskan kebiasaan para prajurit untuk 'pelesir' bila sedang bebas tugas. Apalagi kalau bukan minum minum dan nyari lawan jenis. Pada kesempatan itu, sang letnan bertemu dengan perawat berkebangsaan Inggris, Catherine Barkley. Mereka Saling Jatuh cinta.

Pertempuran semakin memburuk, dan dalam salah satu pertempuran di sungai Isonzo, Henry terluka parah dan harus menjalani perawatan di kota Milan. Di Kota Milan Henry kembali bertemu dengan Catherine dan kembali merajut cinta mereka, sampai akhirnya Henry sembuh dan harus kembali ke front pertempuran. Tentara Italia dipukul mundur Austria, dan Henry memutuskan untuk kembali ke Milan, kali ini dengan rencana di kepala. Dia deserse dan bersama Catherine  menyebrangi danau menuju Swiss dan tinggal di hotel pegunungan di Montreux. Menjauh dari perang, mereka mendapatkan hari hari bahagia di Swiss, sampai akhirnya Catherine hamil. Putera mereka lahir, namun Catherine tak selamat karena pendarahan. Cerita selesai (begitu saja?).

Inspirasi novel ini didapat Hemingway ketika menjadi sukarelawan dengan menjadi pengemudi ambulan di Italia saat perang dunia pertama. Walaupun berlatar belakang pertempuran, nyaris tak ada thriller sepanjang novel. Bahkan saat pelarian ke Swiss dengan mendayung malam malam, dilukiskan datar saja. Melalui pemeriksaan penjaga perbatasan Swiss (dalam keadaan perang, tentu mencekam), juga tanpa ketegangan berarti. Klimak meninggalnya Catherine, juga berakhir begitu saja. Sebenarnya saya berharap banyak.

Catatan penulis: pencarian keyword contoh resensi buku, contoh resensi novel, contoh resensi buku fiksi, contoh membuat resensi buku, belakangan menunjukkan tren menaik. Nampaknya para googler sekolahan atau kuliahan rame rame mendapat tugas untuk menulis resensi buku. Apalagi yang paling mudah kalau bukan googling, dan jadilah keyword contoh resensi buku, contoh resensi novel, contoh resensi buku fiksi, contoh membuat resensi buku sering nongol di mesin pencari. Saya sendiri termasuk reviewer yang kurang suka dengan aturan aturan kaku menulis resensi, seperti memulainya dengan data jumlah halaman dan penerbitnya. Saya mencoba membebaskan ikatan ikatan, aturan aturan agar kejujuran hati mendapat tempat yang lebih besar dalam tiap resensi yang saya lakukan. Bukan berarti aturan aturan itu salah. Malah diwajibkan untuk format sekolahan dan kuliahan. Saran saya, ambil saja berbagai gaya yang disajikan, kemudian temukan gayamu sendiri - pada waktunya.

Tag: contoh resensi buku, contoh resensi novel, contoh resensi buku fiksi, contoh membuat resensi buku
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca