11 Hari Usus Buntu Episode 7

11 Hari Usus Buntu (7)


Bab II  
Dialog dua kucing


     Rumah Sakit R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi atau yang lebih dikenal dengan RS. Bunut sepertinya layak disebut kota dalam kota.  Ia tak pernah tidur, tetap terjaga selama 24 Jam. Menempati lahan seluas hampir 5 hektar, tetap saja dirasa tak cukup dari tahun ke tahunnya. Ia terus berkembang, pasiennya tak pernah surut.
     Dalam kota ini bekerja sekitar  1000 orang karyawan dari berbagai lini dan profesi ; para dokter, perawat, mantri, bidan, petugas laboratorium, apoteker, petugas farmasi, radiolog, petugas rekam medik, sopir ambulan, OB, Laundry, bengkel, ahli gizi, koki ; Direktur, sekretaris, para kepala bidang, kepala seksi, petugas Unit Layanan Pengadaan, staf, bendahara, kasir; Sales representative, kontraktor, supplier, waralaba minimarket, gerai California Fried chicken, Kantin, pedagang asongan, loper Koran; Karyawan Asuransi Kesehatan; Karyawan kantor kas Bpd Jabar dan Banten; sekuriti, petugas parkir, penjaga toilet; ojek, angkot, bubur ayam yang semuanya berlabel bubur ayam bunut; rumah makan padang; apotek apotek partikulir yang menawarkan harga obat lebih rendah…..
     Ruang parkir untuk kendaraan roda empat telah luber memenuhi ruas jalan di depan rumah sakit. Parkir roda dua lebih seru lagi karena telah memakan taman yang kian hari kian menyempit. Rupanya animo orang untuk sakit dan berkunjung ke rumah  sakit tak pernah berkurang.
     Di ruang ruang tunggu kamar periksa, pasien dengan tidak sabar menunggu diperiksa. Sementara para dokter tak kalah bergegas ingin cepat menyelesaikan tugasnya. Cepat, cepat, dan cepatlah. Namun antrian tak kunjung surut.
     Seorang pasien bisa menghabiskan waktu seharian di Rumah Sakit. Bila ia datang jam 8 pagi, maka rata rata dibutuhkan waktu 1 jam untuk pendaftaran. Mungkin 2 jam lagi untuk mendapatkan hasil laboratorium dan berhubungan dengan bagian rekam medik . Lalu menunggu kedatangan dokter yang rata rata sedang melakukan visite. Sekitar jam 11 dokter mulai datang. Setelah diperiksa, kembali mengantri untuk mengambil obat. Saat puncaknya, bisa terjadi anda pulang saat ashar. Diperlukan mental yang kuat untuk menjalani ritual ini. Sejauh yang kuperhatikan, mereka adalah pasien pasien sabar. Pasien pasien yang tidak sabar adalah tipe pasien berduit yang memilih mendatangi dokter praktek sore.
     Rumah sakit telah memenuhi takdirnya sebagai rumah bagi orang orang sakit. Mungkin perlu dipikirkan untuk mendirikan Rumah Sehat untuk adilnya. Di sana orang dapat mengantri untuk bertemu Ade Rai dan mendapatkan nasehat nasehat Dr. Hembing.  
     Dan selasa sore itu aku untuk ketiga kalinya dalam hitungan hari kembali memasuki IGD dengan sepucuk surat sakti dari dr. Shanti WS. Namun kali ini tidak terlalu lama tubuhku langsung dikirim ke ruang rawat inap.
    Saat itu sore menjelang magrib. Gerimis tipis turun perlahan, langit berwarna kemuning.  Daun daun dan rumput basah menimbulkan aroma khas pasca hujan. Lampu lampu mulai dinyalakan. Di Paviliun Seruni kamar no.6 aku disambut suster yang langsung memberikan infus. Aku berharap operasi dilakukan malam itu juga. Tetapi kejutan lain telah menunggu : Kondisi gula darahku yang diatas 400 tidak memungkinkan operasi saat itu juga. Diabetes Melitus ! (tipe 2, tambah suster jaga saat itu ).
    Tak kebayang akhirnya aku menjadi penderita DM.  Kini samar samar aku ingat waktu sepuluh tahun yang lalu ketika kantorku melakukan tes kesehatan, paramedik yang memeriksaku sudah memperingatkanku agar segera berobat karena kadar gula darahku mendekati angka 200. Namun aku tak peduli. Waktu Ninok ribut ribut dengan semut semut di kloset itu beberapa bulan yang lalu, aku juga tak peduli.  Aku baik baik saja, kataku angkuh saat itu. Dan beginilah akhirnya.
    Satu lagi : prosedur USG harus dilakukan untuk memastikan kondisi terakhir usus buntuku. Hari hariku akan masih teramat panjang di sini.
    Malam itu dilalui dengan siksaan yang sama karena memberikan obat pereda sakit akan mengaburkan kondisi usus saat di USG besok. Menjelang tengah malam hujan dengan badai  meraung raung menerpa rumah sakit.  Angin menampar nampar kanopi sehingga menimbulkan suara kelebat berulang ulang. Suara riuh terdengar diatas plafon. Titik titik air hujan membasahi kata jendela. Langit terasa lebih gelap dari biasa. Alam serasa mengamuk malam itu.
    Namun ruanganku hening. Aku memperhatikan apa saja yang ada di sekitarku. Sebuah televisi tergantung di sudut atas kamar. AC berdengung lembut di sebelahnya. Sebuah lemari, kulkas kecil, dan meja makan portable. Di sebelah kiri ranjang terdapat tiang infus, dengan lemari obat agak ke belakang. Tepat diatas kepalaku terjuntai bel perawat. Sementara pada ruang tunggu tamu terdapat sofa yang bisa direbahkan, dan meja kecil untuk menulis. Mungkin beda beda tipis dengan fasilitas hotel bintang empat. Sementara toilet aku belum sempat menggunakannya.
     Mereka yang menungguiku, Ninok, ibu mertua, dua bibi, dan satu paman tertidur kelelahan. Memang jadinya agak sesak. Tapi tak masalah buatku. Sejenak aku tertidur. Ini malam pertama di RS.    
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca