11 Hari Usus Buntu (31)
Pasar taruhan berubah. Posisinya menjadi 5 : 5, artinya
fifty fifty. Pertandingan kedua yang spektakuler menjadi perbincangan di TV TV
nasional. Aljazeera memberitakan esok harinya. Sementara infotainment bersaing
memburu berita ekskusif. Melihat situasinya, anak anak Ciomprang diungsikan ke hotel yang lebih privat. Mereka
dijaga ketat aparat kepolisian. Ciomprangmania mulai mewabah. Anak anak sekolah
turun ke jalan. Mereka bermain bola menirukan Agung cs. Energi kota sedang
menggeliat.
*****
Huru hara terjadi di luar stadion. Penonton yang tak
kebagian tiket mengamuk, dan membakar ban bekas.
Kick off babak pertama. PS. Ciomprang lebih percaya diri.
Mereka tampil menyerang. Serangan bergelombang bahu membahu mereka peragakan.
Kombinasi umpan umpan lambung dan tiki taka membuat barisan pertahanan Biru FC
limbung. Menit ke 15 golpun terjadi. Kali ini tendagan keras Adew dari luar
kotak pinalti membuat Markus harus memunggut bola dari gawangnya. Setelah itu
permainan menjadi keras menjurus kasar. Mang Engkus kerepotan menterapi anak
anaknya yang cidera.
Ayah Asep memanggil para pemainnya, mereka walk out.
Pertandingan dinilai sudah tidak fair lagi. Inspektur pertandingan berdiskusi
dengan wasit. Penonton yang kecewa melempar apa saja ke dalam lapangan. Dan
gelombang ribuan penonton akhirnya tak tertahankan kagi. Mereka memasuki
lapangan. Siapa berkelahi dengan siapa, tak jelas. Sebagian mencabuti rumput
stadion. Untung pemain dan wasit sudah dievakuasi barracuda. Hari ini
pertandingan di tunda.
Huru hara berlanjut ke luar lapangan. Aparat keamanan
menangkap beberapa perusuh, namun melepaskan kembali agar tidak terjadi
kerusuhan yang lebih besar. Hari itu termasuk hari yang paling kelam di
kerajaan Biru. Untung tidak ada korban jiwa. Namun sebuah pasar swalayan di
jarah massa.
*****
Bukan catatan bagus bagi dunia
persepakbolaan bila pertandingan berakhir ricuh. Dari kamar hotel Awan
menyaksikan sisa sisa asap akibat kerusuhan supporter bola. Duduk disampingnya
adalah Hendrawan, mantan pemain bulu tangkis nasional. Mungkin Hendrawan
termasuk sedikit dari pemain nasional yang paling tidak berbakat. Namun secara
ajaib dia adalah pahlawan piala Thomas dan menjadi panutan bagi para pemain
muda. Namanya kalah bersinar dibanding Rudy Hartono atau Liem Swie king. Ia
tidak punya King Smash, smash lompat ala liem. Atau jurus rajawali ala Rudy.
Atau cara bertahan pegas ala Icuk. Ia hanya Hendrawan saja. Orang pasti sudah
lupa. Kita memang sering lupa, apalagi menyangkut jasa orang.
“ Masih kah olah raga menjanjikan kehidupan yang layak
bagi atletnya, Oom ? “ Tanya Awan. Rupanya huru hara membuat jiwa kanak
kanaknya terguncang. Hendrawan terdiam. Ia bisa memahami keresahan anak muda.
Bagaimanapun dia mantan atlet.
“ Sebenarnya kesejahteraan atlet sekarang jauh lebih baik
dibanding para pendahulunya. Namun dari sisi prestasi tidak lebih baik dari
para seniornya itu. Kamu pasti bertanya kenapa. Jawabannya adalah karena negara
lain telah melampaui apa yang telah kita raih. Mereka sudah berlari kencang
saat kita hanya jalan ditempat “ jawab Hendrawan agak berpanjang panjang dan jelas jelas
menggurui.
“ Jadi apa yang harus aku lakukan, Oom ? “
Itu pertanyaan ke sekian ribu kalinya
dari orang berbagai kalangan. Terutama dari anak anak muda yang resah dan masih
peduli preatasi olah raga. Ia telah lama memikirkan jawabannya.
“ Inilah jawabannya. Oom tak tahu apakah kamu cukup
memahami pemikiran Oom. Demokrasi hanya cocok bagi masyarakat yang perutnya
telah kenyang. Akan mengerikan diberikan kepada masyarakat yang perutnya lapar.
Olah raga akan meraih prestasi tertinggi manakala masyarakatnya telah makmur.
Stadion akan dipenuhi oleh mereka yang mencintai olahraga dan mampu membeli
tiket dengan harga pantas. Bukan para supporter frustasi yang datang ke stadion
di tengah kegalauan mereka karena tidak punya pekerjaan. Bukan penonton
yang menumpahkan pahitnya himpitan ekonomi dengan cara berkelahi antar sesama
mereka “
Betul juga. Orang orang berkelahi karena mereka tidak punya sesuatu yang
pantas diperjuangkan di masa depan. Di saat
sebagian kecil orang yang beruntung memamerkan hadiah ulang tahun untuk
putrinya dengan mobil mewah seharga miliaran rupiah, orang orang ini mungkin
lebih frustasi lagi. Stadion menjadi salah satu favorit menumpahkan kemarahan
mereka.
“ Tapi bukankah dulu ketika kehidupan masih bersahaja, kita mampu meraih
banyak kebanggaan dalam olahraga? “ debat Awan.
“ Setiap jaman melahirkan orang dan caranya sendiri.
Kebanggaan masa lalu baik untuk dikenang. Tetapi hari ini kita harus mulai
bekerja dengan realitas hari ini. Dengan orang dan metoda yang cocok dengan
jamannya. Bekerja saja. Berbuat saja. Nikmati apa yang menjadi pekerjaan kita.
Selalu cita citakan kesempurnaan. Maka prestasi itu akan datang “
Ya, bekerja saja pikir Awan dalam hati.