Lain Dulu, Lain Sekarang

Saya orang Sunda. Lahir sekitar tahun 69 di Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia. Seingat saya, waktu kami kecil biasa makan nasi dengan menu favorit ikan peda. Seringkali dengan peuteuy (pete) dan sambal terasi. Ayam hanya disajikan setahun sekali dalam bentuk bakakak. Itupun bila menyambut tamu istimewa atau momen khusus. Minum kami teh. Siang Sekolah Dasar (SD) sore sekolah agama. Angkutan kota made in Japan samar samar sudah ada dengan trayek sekenanya. Superben buatan Amerika (pasti salah ngejanya, tapi itu yang saya dengar) menjadi andalan transportasi jarak jauh. Sepeda motor baru satu dua. Musik yang saya dengar adalah Koes Plus dan Rhoma Irama (d/h Oma). Televisi hitam putih. Tidak setiap RT mempunyai televisi (!). Dinyalakan dengan tenaga accu karena belum ada listrik. Radio menyala dengan siaran andalan dongeng Sunda.

Peristiwa besar yang membubarkan jam sekolah kala itu adalah pertandingan tinju Muhammad Ali. Kami diajari kasti dan rampak sekar. Kalau sepak bola memang sudah jadi habit duluan. Lalu ada latihan perang perangan oleh ABRI. Jajanan kami adalah bakso, es serut, dan gorengan. Isu pemakaian saharin sudah terdengar. Tapi belum ada Puskesmas saat itu. Orang orang giat berolahraga. Makanya saat itu kata diabetes sungguh frasa asing. 

Kami baca Kompas. Selalu coblos nomor 2, Golkar. PDI partai Kristen. P3 pilihan pesantren. Anak anak muda gandrung gitar. Pingpong alias tenis meja mulai populer. Bulu Tangkis menjadi kebanggaan bersama. Pak Harto menjadi satu satunya pemimpin di kepala kami. Bung Karno hanya samar samar dan hanya diingat kala Agustusan. Serial si Unyil tiba tiba mencuri perhatian. Kami juga sudah mengenal nonton bioskop ke kota yang lebih besar. Film Flash Gordon yang saya ingat.

Melompat ke tahun 2013. Kalau bukan musik Jazz, saya pasti dianggap udik. Bila ngak tahu espresso, jarang nongkrong di kafe, berarti kampungan beneran. Ngak pernah googling? kebangetan. Bioskop yang dulu berjaya sudah pada gulung tikar. Ada TV flat yang aduhai menawan. Nonton film berkualitas datang ke rental DVD. Namun minta ampun, segalanya serba mahal. Atau kitanya mungkin yang kelewat miskin. Hanya Persib yang tetap menjadi idola anak anak. Itupun harus bersaing dengan Real Madrid dan MU. Koes Plus masih main di panggung panggung kenangan. Sementara Bung Rhoma nyapres.... Makan ayam bisa kapan saja. Minum air putih yang sudah dikemas (Aqua). Tiba tiba sepertinya setiap orang mengidap diabetes.

Jalan raya dipenuhi sepeda motor. Rasanya banyak orang yang lahir dan sedikit yang mati. Sawah sawah ditumbuhi bangunan. Guru guru tidak lebih hebat dan lebih dedikatif dibanding generasi sebelumnya. Mereka malah mungkin lebih matere (mudah mudahan saya salah). Dulu saya didamprat bila tidak melafalkan basa Sunda dengan benar. Kini bila SMSan dengan guru, basa Sundanya hancur lebur. Tidak ada bedanya antara e dengan eu. Parah. Ulang tahun anak menjadi acara mewah. Saya kadang malu mengantar anak ke acara ulang tahun temannya. Karena nyadar jarang mengulangtahunkan mereka. 

Acara televisi dipenuhi hiruk pikuk politik dan hura hura selebritas. Sementara China dan Malaysia yang dulu kita pandang rendah, sudah berbalik memandang rendah kita. Kadang kadang saya ingin berperang dengan si jiran itu. Anak anak kehilangan ruang untuk bermain bola. Mereka terpaksa pergi ke lapang futsal, bayar tentunya. ABRI yang dulu serem, sekarang suka tersenyum ramah. Mereka juga ternyata manusia. Punya hutang dan anak yang harus di sekolahkan. Buku buku sekolah anak harus saya beli tiap tahun. Padahal dulu biasa menerima buku warisan dari kakaknya.

Posting ini saya ketik di Puskesmas. Sambil nunggu berobat. Pikir pikir, negeri ini lebih baik, atau sebaliknya?


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca