11 Hari Usus Buntu (37)
Seruni menatap resah rintik hujan yang
menempel pada kaca jendela. Bulir bulir air hujan menempel pada kaca jendela
aparteman lantai ke 25 itu. Lembayung baru saja pergi. Namun langit masih
menyisakan sedikit warna kuning.
Beberapa saat yang lalu dirinya memandang
pilu empat temannya yang terbaring di ICU. Selang oksigen terjulur ke hidung
hidung mereka. Andai aku bisa membantu, tangisnya. Dari balik kaca ia pembatas
ia hanya bisa berdo’a.
Sisa sisa sembam di matanya masih tersisa
ketika pulang ke apartemen. Laila ibunya bertanya apa gerangan yang membuatnya
bersedih. Iapun bercerita,
“ Mereka
teman teman sekelasku dulu. Beberapa waktu yang lalu mereka mengikuti tes untuk
mendapat bea siswa ke Harvard. Empat temanku lulus. Hari itu mereka hendak
pergi ke bandara dengan shuttle bus. Di jalan tol, kecelakaan itu terjadi….. “
“ Semoga
mereka selamat, “ kata ibunya.
“ Terima
kasih, bu. Itu sangat berarti bagi mereka“
Sesungguhnya
Seruni sangat merasa sangat berdosa pada ibunya. Ia masih menyimpan cerita yang
lebih jujur di balik kecelakaan itu.
*****
Jakarta tahun 2090. Macet total.
Jalan jalan di Jakarta sudah kelebihan kapasitas. Mobil, motor, pedagang
asongan, kaki lima, preman, pengemis, semuanya tumpah ruah di jalanan membentuk
mie goreng yang tidak jelas ujung pangkalnya. Demo hampir terjadi tiap hari.
Kondisinya sudah mencekam. Kota ini sudah menderita stroke. Kriminalitas di
jalanan naik tajam. Petugas keamanan
sudah tidak sanggup lagi mengatasi keadaan. Infrastruktur jalan terus
memburuk.
Kondisi ekstrim melahirkan reaksi ekstrim.
Orang menjauh dari jalanan. Mereka mulai membangun superblok – jauh lebih
ekstrim dari super blok yang dikenal sekarang. Lebih mendekati benteng kota.
Suplai air bersih dibuat sendiri. Pengelolaan sampah dikerjakan ditempat.
Pangan ditumbuh kembangkan di laboratorium laboratorium blok.
“ Apakah agama masih relevan menjawab masalah masalan
hidup kita, bu ? “ tanya Seruni suatu sore kepada ibunya di taman apartemennya. Masih terus menggelindingkan
kursi rodanya Laila menjawab,
“ Bila agama itu masih membawa kebaikan bagi kehidupan,
bagiku agama itu baik bagiku. Aku orang pragmatis, seruni. “
“ Agama tak membawa kebaikan bagi kehidupan sosial kita,
aku rasa…. “
“ karena mungkin kita tidak pernah benar benar menganut
agama. “
“ Lalu kita menganut apa? “
“ kita mungkin tidak menganut apapun dan agama yang
manapun. Kurasa kita telah menjadikan kita sendiri sebagai tuhan baru dengan
menciptakan agama kita sendiri. “
“ Kalau begitu kita tidak memerlukan Tuhan lagi.“
“ Ide itu sudah pernah dicoba sepanjang sejarah peradaban
manusia. Fir’aun, setelah sukses jadi raja dia berpikir untuk menjadi tuhan.
Dia ingin kekal, hidup selamanya sehingga setelah kematiannyapun dia ingin
jasadnya utuh. Kita akhirnya mengenal mumi. Kaisar kaisar China selalu
merindukan untuk menjadi Dewa. Mereka tak segan menengak mercuri untuk mencapai
keabadian. Raja raja Jawa selalu yakin mereka adalah turunan dewata. Namun
kebanyakan berakhir di ujung mesiu Belanda. Tak ada yang berhasil, dulu maupun
sekarang, entah ke depan. “