11 Hari Usus Buntu (44)
Menjelang siang orang tuaku datang ditemani adik
bungsuku. Aku teringat dengan kisah suster back packer tadi malam. Jadi Tuhan
memang pandai mengatur momen. Baru kusadari, mereka menjelang renta sekarang.
Gagasan aku menjadi Eskimo membuat hatiku hancur. Betapa tahun tahun ke
belakang menjadi terasa tersia sia. Aku harus memikir ulang hidupku kini.
Setiap orang harus sadar akan akarnya, sebelum memberikan sayap pada anak anak
masa depan.
Allahummagfirli dunuubi wali walidayya, warhamhuma kamaa
robbayani soghiro. Amin.
Puteri Seruni, cicit imajinerku, memberi pelajaran pahit
pada kakek buyutnya. Ia menangguhkan banyak keinginan hanya untuk keinginan
mendampingi dan merawat ibunya. Aku tak tahu sampai kapan Seruni bertahan. Diam
diam do’a ku panjatkan untuk cicit yang belum lahir itu.
*****
Dan benar juga, bertubi tubi Tuhan menyetrumku hari ini.
Pintu kamar di ketuk.
“ Masuk “ kata ibu mertua mengira itu suster atau orang
dari instalasi farmasi yang biasa mengirim obat. Seraut wajah muncul dari balik
pintu. Wajahnya tersenyum ramah.
“ Apa ini kamar bapak Esa ? maafkan bila saya salah masuk kamar. “
“ Betul “ sahut ibu mertua saya. Namun kelihatan menyidik
menyidik pakaian tamunya ini.
“ Saya pendeta dari gereja advent yang bapak minta. “
“ Wah barangkali salah kamar pak. “ tukas ibu mertua
saya.
“ Oh, maafkan saya. “ katanya sambil membungkuk hormat
hendak berlalu.
Sekonyong konyong aku berkata, “ Tunggu, anda pendeta,
kan ? “
“ Ya, betul “ katanya heran.
“ Melayani umat ? “ tanyaku.
“ ya, betul “ dua kali jawaban yang sama.
“ Kalau begitu, saya butuh pelayanan sekarang.”
Ibu mertuaku melongo, sama melongonya dengan si pendeta.
“ Maaf kan saya, saya pikir anda muslim ? “
“ Tak masalah, saya butuh teman bicara sekarang.“
Ibu mertuaku tampak kurang senang, namun tidak sepatah
katapun terucap. Dengan sopan pendeta melangkah dan duduk di samping ranjangku.
Usianya kutaksir antara 55 – 60 tahun.
“ Nah, anakku, apa yang bisa saya bantu ? ”
“ Bung Karno berteman dekat dengan para pendeta
misionaris waktu dibuang ke Ende, Flores. “ kataku.
“ Ah, iya. Itu tahun 1934 “
“ Wah peminat sejarah juga rupanya “ kami tertawa
bersama. Sementara ibu mertua keluar ruangan. Jadi tinggal kami berdua.
Aku sedikit berbasa basi menanyakan di mana beliau
bertugas, rumah, istri, dan anak anak. Tak sekalipun kusinggung masalah
keimanan. Topik kemudian beralih ke kerusuhan bernuansa sara. Ia hati hati
menjawab. Lebih banyak menunjukan kekagumannya pada sosok almarhum Gus Dur. Lalu
aku minta cerita pengalamannya selama jadi pendeta.
Menurutnya, hal yang paling berkesan justru datang dari
luar gereja. Sebagai pendeta yang harus menyiapkan materi khotbah tiap minggu,
sewajarnya bila injil menjadi rujukan utama. Namun materi yang dinilainya
paling menginspirasi justru lahir dari buku buku pop, macam Gadwell. Favorit saya, katanya.
Macam apa buku itu tanyaku. Orang
orang luar biasa, melebihi orang kebanyakan jawabnya. Ah, kataku, seperti
kebanyakan buku sukses yang sekarang banyak diterbitkan. Mungkin, jawabnya bijaksana menghindari perdebatan.
“ Tapi tahukah anakku, sejak bapak mengambil salah satu
bagian dari buku itu, ada banyak kebaikan yang terjadi. “
“ Misalnya ? “ kataku cepat.
“ Seorang nenek yang lumpuh, berusia 65 tahun, sudah
memakai kursi roda selama lima tahun.
Dokter sudah angkat tangan. Namun tiga tahun terakhir, dia sembuh, dan
menikmati hidupnya dengan bahagia”
“ Mukjizat gereja ? “ tebakku.
“ Sejujurnya bukan. Mukjizat lingkungan, mungkin ya, bila
menyimak hari hari terakhir hidupnya. “
Aku hormati jawaban jujur pendeta itu.