11 Hari Usus Buntu (45)
Dia mulai dengan tahun ketika mulai ditugaskan di kota Sukabumi, sekitar
tahun 70an. Dilihatnya mayoritas
pegunjung gereja adalah Chinese,
disusul orang orang berbahasa Jawa, dan
sedikit orang seberang. Pun dia melihat
untuk urusan sekolahpun, Chinese
Kristen ini mengelompok, tidak salah bila tuduhan ekslusif dialamatkan kepada
mereka. Banyak dari keluarga yang rutin ke gerejanya tinggal di Pecinan. Bila
tidak di Pecinan, rumah mereka bak bungker pertahanan dengan pagar tinggi
menjulang, dengan kawat berduri lagi. Ketika tahun 80an para pengembang mulai
membangun perumahan, maka yang diserbu kelompok ini adalah perumahan dengan
sistem kluster. Lagi lagi ekslusif.
“ Samar samar saya pernah mengalami situasi itu pada masa
kecil “ kataku memotong cerita pendeta.
“ Dimana anda saat itu ? “ kata pendeta.
“ Di sebuah desa bernama Karangtengah. Penduduk kami 100%
muslim. Sebuah mesjid kaum berdiri megah di depan lapang. Sedangkan pesantren
terletak di seberang rel kereta api. Saya bersekolah agama di sana sore hari.
Jika sekolah agama itu usai, kami anak anak biasa bermain main sepanjang rel
kereta. Ada saja yang biasa kami kerjakan. Main layangan, mencari ubi, atau
mengubur paku direl, “ ceritaku sambil menerawang.
“ Buat apa paku itu ? “ tenya pendeta sambil tersenyum
geli.
“ Bila kereta melintas, maka paku itu menjadi pipih. Kami
membuat pisau pisauan dari paku yang telah pipih itu “
“ Cerdik juga “
“ Pada suatu sore, seorang temanku mengajak bermain ke
sebuah pagar baru di pinggir rel. Nampaknya pagar itu cukup tinggi dengan
ranjau beling belingan di sepanjang puncak pagar. Tiba tiba dia memungut batu
yang berserak sepanjang rel kereta, dan melemparnya ke arah pagar itu. Berkali kali, sampai terdengar suara beradu
antara beling beling dan batu yang dilempar. Percikan kaca bececeran kemana
mana. Tidak ada reaksi dari penghuni di balik pagar, hanya samar samar
terdengar riuh suara ayam. Saya cukup
terkejut dengan tindakan teman tadi “
“ Apa yang terjadi “ tanya pendeta penasaran.
“ Hal yang sama saya tanyakan kepada teman tadi. Dia
menjawab, memang bangunan itu perlu dilempari karena pemiliknya Cina…. “
“ Ooh “
“ Dan saya akhirnya turut melempar, ikut ikutan saja.
Sesuatu yang akhirnya saya sesali sampai saat ini. Bila saja saya mengenal para
Cina itu, saya akan meminta maaf dengan tulus, dan
mengganti kerugian atas kerusakan yang terjadi. Sungguh….. “
Kami terdiam sejenak. Entah apa yang ada dalam benak kami masing masing.
“ Paginya ketika sarapan, kami dikasih lauk telor satu
orang satu. Tumben, biasanya telor dadar dipotong potong rame rame “
“ Apa hubungannya dengan aksi melempar sehari sebelumnya ? “ kerut di
keningnya menandakan kebingungan.
“ Ayah bilang telor itu pemberian tetangga baru kami yang
kebetulan beternak ayam. Saya baru tahu beberapa hari kemudian bahwa tetangga
baru kami itu adalah cina yang saya lempari kandangnya kemarin sore… “