11 Hari Usus Buntu (47)
Sebuah khotbah yang sukses. Banyak yang memuji materi khotbah pendeta.
Namun efek khotbah yang mencengangkan adalah ketika sebuah keluarga memutuskan
untuk membatalkan sebuah rencana. Keluarga Tionghoa itu membatalkan niatnya
untuk membeli rumah kluster. Mereka akhirnya memilih perumahan yang membaur
dengan masyarakat, yang mayoritas muslim. Sebuah pilihan aneh. Saya tidak
berpikir sejauh itu, ungkap sang pendeta ketika mulai menulis materi khotbah.
Dan hari hari berikutnya adalah sebuah kisah luar biasa. Anak anak mereka mulai bergaul dan bermain
ala anak anak kampung. Nampaknya anak anak adalah jenis mahluk murni yang tidak
mengenal prasangka. Ketika mereka pulang bermain sekitar sore, perut mereka
telah penuh terisi berbagai jenis makanan dari berbagai jenis keluarga.
“ Sebenarnya saya punya pengalaman pribadi berkenaan
dengan membaurnya Tionghoa dengan pribumi “ kataku memotong cerita pendeta.
“ Oh ya ?, pengalaman seperti apa yang anda alami ? “
ujar pendeta sabar atas ketidaksabaranku memotong pembicaraan.
“ Sebagian saudara saudara saya kini setengah Tionghoa… “
“ Apa yang terjadi ? “ dia setengah terkejut.
“ Seorang bibi saya kawin dengan Tionghoa “
“ Bagaimana rumah tangga mereka ? “
“ Aman aman saja. Mereka punya anak tiga. Saya tidak
bilang itu perkawinan mudah “
Pendeta mengangguk angguk. Namun otaknya sedang berpikir
keras.
“ Sebenarnya perkawinan dengan sesama suku saja masih
terasa berat. Selayaknya kita memberikan apresiasi terhadap perkawinan antar
ras, apalagi antar agama.. “ kata pendeta pelan, seolah ragu dengan apa yang ia
ucapkan.
“ Anda benar. Benar sekali “
Kami lagi lagi terdiam panjang. Akhirnya pendeta
melanjutkan cerita :
Keluarga Tionghoa
itu, kini mereka mulai terbiasa bangun agak lebih pagi sehubungan adzan subuh
yang rutin menyambangi telinga mereka. Karena bangun lebih pagi, mereka
akhirnya bergabung dengan ibu ibu lainnya mengerubuti tukang sayur. Kunjungan
ke mal jadi berkurang. Komunikasi dengan tetangga mulai berjalan. Sang nenek
yang penasaran akhirnya menggelindingkan kursi rodanya sampai pagar, ikut pula
nimbrung dengan ibu ibu penggemar sayur itu. Nenek tidak lagi kesepian.
Sekarang nenek menikmati sinar matahari lebih panjang.
Akhirnya nenek yang gembira dan kurang kerjaan mengenal
hampir seluruh penghuni perumahan dan masyarakat sekitar. Ketika lebaran tiba,
sang nenek memaksa untuk diantar mengunjungi seluruh penghuni perumahan. Anak
lelakinya terpaksa mendorong kursi roda berkeliling kampung. Selain kenyang
makan ketupat dan kue kue, si nenek agak merasa lebih sehat dan mulai lupa ia
menderita kelumpuhan. Pada lebaran kurban, ia memaksa ingin melihat kambing dan
sapi disembelih. Kali ini mencoba pakai tongkat. Kakinya sedikit bisa
digerakkan. Makanan berbahaya daging kambing pembagian ia santap tanpa ragu.
Anak mantunya putus asa mengingatkan.
Memasuki tahun imlek pertamanya, ia sudah menyiapkan
angpau buat anak anak sekampung. Sudah bisa jalan sendiri dengan tongkat, ia
memilih pos ronda sebagai lokasi pembagian angpau. Sejak itu anak anak
mengenalnya dengan nenek angpau. Ibu ibu ikut ikutan menyebutnya nenek angpau.
Sekarang kegiatan rutin hariannya adalah keliling perumahan dengan misi menyapa
siapapun yang ditemuinya. Bapak bapak yang sedang mencuci mobil, anak anak yang
bergegas sekolah, pedagang keliling, loper Koran, tukang bubur, dan tukang
ojek. Akhirnya siapa tak kenal nenek angpau. Bahkan jadwal kelilingnya antara
jam 7 sampai 8.30 pagi dijadikan taruhan di kios bubur. Tebakan waktu yang
paling dekat dengan saat melintas sang nenek menjadi pemenang taruhan, dan
berhak bubur gratis dari yang kalah bertaruh. Itu kerjaan tukang ojek.
Kecintaanya akan pergaulan memang ekstrim. Ia mulai ikut
pengajian ibu ibu tiap jum’at sore, Hari minggu tetap pergi ke gereja. Apa yang
mula mula dianggap aneh, akhirnya menjadi hal yang biasa, bagi masyarakat
maupun keluarga.
Menjadi panitia 17 Agustusan paling tua membuatnya
bangga. Walaupun tidak ikut lomba, ia memelopori lomba menyanyikan Indonesia
Raya bagi anak anak dan dewasa. Biar mereka lebih mencintai tanah air, katanya.
Begitulah, tiga tahun dilaluinya dengan sehat dan gembira. Ia yang sudah
divonis tidak bisa sembuh, melewatinya dengan tahun tahun yang luar biasa.
Sampai akhirnya berpulang.
Ada dua wasiat yang ditulisnya. Pertama ia ingin dimakamkan di tengah
permakaman umum, berbaur dengan orang orang yang berbeda ras dengannya. Kedua,
ia ingin tabungannya ( setelah dihitung sekitar tiga jutaan ) dihibahkan untuk
pembangunan toilet mesjid dan sedikit untuk ustadz yang dikaguminya.
Orang Sekampung
mengantar kepergian nenek yang luar biasa ini. Sampai akhir hayatnya, ia tetap
Kristen.
Adzan asar berkumandang.
“ Nah, waktunya solat ya ? baiklah kalau begitu saya
mohon pamit, semoga cerita saya tadi bermanfat. “ ujar pendeta.
“ Amin “ timpalku.