11 Hari Usus Buntu (3)
Sepulang ke rumah, aku didera sakit perut yang sangat.
Mula mula disangka sakit perut biasa atau masuk angin. Namun karena selewat
pukul 10 malam sakit tidak juga mereda, maka aku memutuskan pergi ke Instalasi
Gawat Darurat ( IGD ) Rumah Sakit Bunut di temani Ninok. Tetangga sebelah kami
berbaik hati meminjamkan mobilnya kepada Ninok. Namun Pemandangan di ruang IGD
tidak begitu menyenangkan.
Aku dibaringkan di meja periksa. Tak jauh dari tempatku
berbaring, sebuah keranjang jenazah telah disiapkan. Rupanya baru saja ada
pasien yang meninggal di ruang periksa. Pikiranku melayang jauh. Ninok bergidik. Dokter Jaga, seorang perempuan berjilbab, nampak menanyai Ninok. Beberapa anggukan membawa dokter
itu mendekati pembaringanku. Dia menekan nekan perutku.
“ Apakah ada mencret ? ” tanyanya menyelidik.
Bahasanya kaku. Jelas bukan lidah orang Sunda, lebih ke dialek Melayu.
“ Apakah ada mencret ? ” tanyanya menyelidik.
Bahasanya kaku. Jelas bukan lidah orang Sunda, lebih ke dialek Melayu.
“ Tidak ”
jawabku. Kali ini dia memakai stetoskop, mendengarkan suara suara dalam
perutku.
“ Barangkali
punya maag ?”
“ Ya, tapi ini bukan rasa maag, Dok ” kataku membantah.
Dokter itu kelihatan tidak begitu tertarik dengan argumenku.
Dokter itu kelihatan tidak begitu tertarik dengan argumenku.
Aku sering kali heran dengan perbincangan antara dokter
dengan pasiennya. Pola komunikasi mereka rata rata singkat, patah patah,
dingin, nyaris monolog, dan tanpa kompromi.
Pada saat saat seperti ini,
kadang kadang aku merindukan Najwa Sihab.
Kemudian pemeriksaan beralih ke kuku kuku tangan. Ditekan tekannya kuku kuku jemari tanganku. Entah maksudnya
apa. Kelihatannya dia tidak menemukan pertanda apapun disini.
“ Sabar yah, kita akan ambil sampel darahnya
dulu ”.
Tak berapa lama
seorang paramedis mengambil sampel darah. Menunggu lagi.
Sementara keranjang jenazah mulai meninggalkan ruang,
diiringi tangis beberapa pengantar. Di bangsal lebih dalam aku menghitung 10
meja periksa yang semuanya terisi penuh pasien. Sebagian besar didampingi
pengantar sehingga ruang bangsal terasa sesak. Udara terasa pengap walau
ruangan itu berAC. Banyak nian pasien gawat darurat malam itu. Seorang ibu muda
yang hamil tua belakangan masuk dengan muka meringis. Sementara laki laki yang
mengantar, nampaknya suaminya, kelihatan tolol celingak celinguk mengintip
kompartemenku. Apa maksudnya. Aku melotot sejadi jadinya. Perawat menggiringnya
ke ruang tindakan kebidanan. Dasar @&$*#!!!.
Hasil tes darah sudah didapat. Dari seberang meja
kerjanya, dokter jaga berseru :
“ Punya gula, yah?
”
Aku
membulatkan jempol dan telunjuk tanda OK ( kenapa ngak nanya Ninok saja, atau
maksudnya ngejek? ). Sebenarnya belum
pernah aku secara serius memeriksakan diri di lab ihwal gula darah ini. Namun
beberapa kali Ninok menunjukan serbuan semut di kamar mandi bekas ku pipis.
Jadi aku mengatakan ‘ok’ karena sekumpulan semut iseng tadi. Dokter mengangguk
mengerti. Seorang dokter jaga lain bergabung. Kali ini dokter laki laki
berpakaian taqwa
(ternyata boleh berpakaian taqwa ketika bertugas, maksudnya mungkin untuk menambahkan
efek tenang pada pasien). Mereka nampak berdiskusi. Dokter yang perempuan
menulis resep dan menyerahkannya ke Ninok. Ninok kemudian mengajakku
meninggalkan ruangan. Aku sedikit lega karena tak usah lagi melihat begitu
banyak pemandangan memilukan.
Kami menuju
apotek, menukar resep dengan obat.
“ kata mereka, ini hanya maag biasa. Sebentar juga sembuh
” celetuk Ninok sambil menunggu petugas menyiapkan obat. Dia menguap lebar. Gurat kelelahan menghiasi bawah
kelopak matanya. Setelah obat siap, kami bergegas pulang. Ninok yang mengemudi. Tetapi malam masih belum akan berakhir untukku.