11 Hari Usus Buntu (4)
Tak berapa lama setelah meminum obat, tubuhku mulai menggigil.
Seluruh tubuhku bergetar. Sontak pikiranku hanya satu : ini pasti salah obat!
Untuk kedua kalinya malam itu, kami membikin kehebohan
kecil bagi tetangga kiri kananku. Kembali mobil menderu diringi gelengan kepala
prihatin dari tetangga yang masih terkantuk kantuk.
Masih dokter jaga yang sama, masih IGD sibuk yang sama.
Sedikit panik tidak bisa disembunyikan sang dokter. Dia memeriksa obat yang
diberikan kepada kami. Helaan panjang mengakhiri bacaannya terhadap obat yang
aku minum.
“ Obat yang saya resepkan kepada bapak adalah obat maag
tanpa parasetamol. Saya tidak
mengerti bagaimana orang di bagian farmasi memberikan obat yang dikombinasikan
dengan parasetamol. Kalau memang ngak ada obatnya, bilang ke sini. ” gerutunya.
Aku tidak menjawab. Kujawab dengan bibir yang terus menggigil. Sebisa mungkin
gaya menggigilnya di parah parahin,
boleh dong, sekedar sedikit membalas kecerobohan Rumah Sakit tadi. Kugoyang goyangkan meja periksa sehingga
suaranya berderak derak. Beberapa perawat melirik sambil tersenyum senyum,
sementara pasien lainnya melongok dengan muka prihatin.
Dengan wajah yang tetap serius dokter jaga tadi kembali
menghampiri.
“ Setengah jam lagi
efek menggigilnya pasti menghilang, sementara saya akan mengganti resepnya.
Biar istri bapak yang menukar dengan resep baru ke bagian apotek ”. Kulihat Ninok bergegas lagi ke bagian apotek. Semoga
kali ini tidak salah obat lagi. Kuingat, hari itu hari kamis.
*****
Sepanjang Jum’at, Sabtu, Minggu itu tiada berita menggembirakan
selain kembalinya Si Putih dari Palabuhanratu. Setelah ditangani montir lokal, Si Putih telah pulih dan sehat walafiat dan kembali ke garasi
rumah. Tidak demikian halnya yang terjadi dengan tuannya.
Rasa sakit dan melilit di bagian perut belum juga mereda.
Akhirnya pada hari Senin diputuskan untuk mencari second opinion dengan
mendatangani dokter di Balai Pengobatan. Walhasil, diagnosa yang dilakukan
tetap pada kesimpulan : maag, maag, maag. Resep lama diganti dengan obat baru.
Alih alih mereda, sakit perut mencapai titik kulminasinya pada senin malam itu.
Aku berguling, melolong, meratap, dan memohon ampun kalau kalau ini hukuman
yang dijatuhkan Tuhan kepada si pendosa. Ninok melukiskan fenomena sakitku
sebagai gempa bumi karena tempat tidur yang ikut bergetar menahan rasa sakit.
Para tetangga berdatangan karena suara suara aneh yang keluar dari kamar tidur.
Dengan jengah Ninok menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Selasa pagi, mertua yang merasa khawatir kemudian datang
dengan ustadz senior. Walau senior, sang ustadz
kelibatannya rendah hati dan agak pemalu. Bahasanya halus dan lemah
lembut. Di tengah kesibukan dengan para santrinya, dia masih mau
menyempatkan diri menyambangiku.
Jujur saja sampai tadi malam pikiran aku kena voodoo juga mulai merasuki jiwaku. Dia mempersilahkan aku berbaring sementara tangannya
menyentuh keningku. Hening. Agaknya sedang berdo’a dalam hati. Tidak kulihat
komat kamit seperti banyak kulihat pada praktik praktik umumnya. Tak ada semburan air yang dipuncratkan ke mukaku. Mungkin karena ini aliran putih.
Beliau kemudian minta segelas air. Kali ini lama dia
berkonsentrasi. Setelah selesai disuruhnya aku meminum air putih itu. Mungkin
do’a do’a yang dilafadzkan setara dengan obat tidur. Setelah itu aku tertidur
nyenyak.
Bangun tidur, aku merasa baikan. Usai membasuh muka, aku
sedikit menggerakkan badan. Kedendangkan senandung senandung kecil agar anggota
keluarga yang lain yakin aku telah sembuh. Ibu mertua yang mendengarkan
termakan tipuanku. Karena menyangka sudah
sembuh, beliau pamit untuk pulang. Aku juga berharap dapat menipu diriku
sendiri. Berpikir positif, maka hasilnya positif. The magic of thinking positive.
Kunyalakan komputer, gairah ngeblog mudah mudahan membuatku lebih merasa normal lagi. Rupanya tiga
hari tidak on line, membuat kolom komentar terkini penuh. Aku menjawab satu
persatu komentar yang masuk.
Blog-ku khusus membuat resensi buku buku. Sepanjang tahun
kemarin aku berhasil menyelesaikan resensi setengah dari karya karya Agatha
Christie yang jumlahnya sekitar delapan puluhan. Komentar komentar mulai
berdatangan. Mulai dari yang sopan sampai yang kurang ajar. Semuanya di muat
tanpa sensor.
Ternyata berpikir positif tidak selalu manjur
menyelesaikan masalah . Selepas dzuhur kembali aku didera sakit yang sama. Aku
harus bertindak. Intuisiku menyadap sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Pastilah kesalahan diagnosa telah terjadi. Third
Opinion, opini ketiga tidak boleh salah lagi.