11 Hari Usus Buntu (6)
******
dr. Shanti WS adalah dokter reputable di kota kecil seperti Sukabumi. Seumur umur aku belum
pernah berobat kepadanya. Banyak keluarga dan teman teman yang bertestimoni
cocok berobat kepada beliau. Promosi apalagi yang paling ampuh selain word of mouth ? Jadi begitulah aku
diantar Ninok, mertua, dan seorang paman untuk menyambanginya.
Seperti diceritakan orang orang, memang pasiennya banyak.
Jadi lama juga aku menunggu di ruang tunggu. Ada dua orang resepsionis yang
bertugas memanggil pasien berdasar urututan. Kuamati interior ruangan. Agaknya
ini rumah tua dengan gaya kolonial yang khas. Langit langitnya tinggi. Dinding
bercat putih dengan jendela jendela putih berkusen dobel. Lantainya dari mozaik berwarna abu abu. Yang tak kusuka adalah tempat duduknya
yang keras.
Giliranku di panggil. Agak kecewa juga ketika berhadapan
dengan dokter Shanti saat itu. Kubayangkan nama Shanti identik dengan muda, fresh, dan senyum dengan geligi seperti
di iklan iklan televisi. Bayangan Lula Kamal tiba tiba menguap begitu saja.
Usia dokter Shanti mungkin di atas usia mertuaku. Chinese, perawakannya kecil. Namun aura
wibawa memancar dari tangannya. Dia menyuruhku berbaring di meja periksa.
Sekilas kulirik meja kerjanya. Ada photo anjing totol totol disana. Rupanya
beliau pecinta anjing totol totol.
Silahkan berbaring katanya menunjuk ranjang periksa. Hal
pertama yang dia lakukan adalah membuka mulutku dan menyenternya. ‘A, katanya
singkat. Sepertinya tidak menemukan apa
apa disana. Setelah meletakkan senter, dia kemudian meyibak bajuku. Jemari
tangannya menari nari diatas perutku.
Aku meringgis tiap kali jarinya menekan bagian kanan bawah perutku.
“ kalau
jalan bungkuk bungkuk gitu, pak?” tanyanya. Pikiranku kembali ke dokter
perempuan IGD yang memeriksaku. Bahasanya lagi lagi patah patah, singkat
singkat.
“ Ya ” erangku, dan “ sangat sakit. “ Tangannya terus menjelajah bagian bagian perutku. Kadang
kadang satu bagian di tekan tekannya sampai berulang kali. Dari kacamatanya
yang mungil dia mengintip reaksi wajahku.
“ Kerja
dimana ? “ tanyanya singkat sambil terus tangannya bergerak.
“ Di
PU, “ jawabku tak kalah singkat. Entah
dia peduli atau tidak dengan jawabanku, aku hanya memandang langit langit.
“ Usus buntu
… “ katanya perlahan.
” Harus segera dioperasi.….. ”
“ Maaf, dok?
”
“ Ya, saya akan segera buatkan surat pengantarnya. “ Dia
sudah duduk kembali di meja kerjanya.Ninok masih sempat membuat perlawanan : Apakah masih bisa
ditanggulangi dengan obat, dok ? pintanya.
Sang dokter menjawab singkat :
“ Mau rawat inap dimana? ”
“ Di Bunut
saja” kataku menyerah. Tiba tiba saja terbayang saluran bawah radiator mobilku
yang pecah. Pertanda itu telah terbukti dengan sendirinya.