11 Hari Usus Buntu (38)
Tahun 2100 benteng benteng kota mulai berdiri di Bodetabek. Tahun 2110 Kota Sukabumi mendirikan benteng kota pertamanya. Disusul dua benteng kota lainnya. Pada tahun tahun itu kota Sukabumi sudah menjadi bagian dari megapolitan Jakarta.
Sistem benteng kota bukannya tanpa masalah. Polusi memang berkurang drastis. Tetapi keberadaanya mematahkan sifat dasar manusia yang merindukan kebebasan, dan terutama persaudaraan yang sehat. Konsep benteng kota lahir dari memburuknya pengelolaan Negara. Dia tercipta bukan dari konsep yang ajek. Cita cita untuk hidup normal kembali didengungkan. Tapi lingkungan di luar benteng belum juga membaik. Orang benteng sudah kadung mempersepsi orang luar sebagai kaum bar bar. Jadinya serba dilematis.
“ Apakah kehidupan kita akan berakhir suatu saat ? “ tanya Seruni, mereka berhenti di tepi kolam.
“ Begitu menurut kitab kitab suci “ jawab Laila.
“ Dan kita semua akan masuk surga ? “
“ Bagi meraka yang berhak “
“ Menurutku ini sia sia. Apa perlu membuat panggung dunia yang carut marut ini. Bila Tuhan bermaksud baik, Dia tak perlu membuat manusia dengan kecenderungan kecenderungan yang tak waras ini. Jadi makin yakinlah aku, bila kita sengsara sekarang, maka pihak yang paling dipersalahkan adalah Tuhan sendiri. “
“ Malaikatpun pernah berpikir demikian “
Benteng kota Sukabumi merupakan superblock kelas menengah. Wilayahnya mencakup lahan seluas 25 hektar. Terdiri dari zona permukiman, rumah sakit, pemerintahan, perniagaan, sekolah, komplek olah raga, dan tempat rekreasi. Walaupun ia benteng yang kokoh, sebenarnya terbuka untuk umum – dengan pengamanan ketat. Rumah sakitnya termasuk yang ramah menerima pasien. Seorang bayi lahir di Pavilun seruni kamar nomor 6. Sang ibu menamainya : Puteri Seruni. Bukan tanpa sebab ibu itu memilih kamar tersebut. Kakek buyutnya pernah dirawat disana pada saat usus buntunya di operasi. Mereka adalah generasi ketiga yang masih memelihara silsilah keluarga berdasar blog Google yang ditulis kakek buyutnya, hampir 100 tahun yang lalu.
“ Aku pikir, sudahlah Seruni. Bukan tindakan yang bijak mempersalahkan Tuhan atas situasi yang kita hadapi “
“ Apa saran ibu ? “
“ Lihat saja sisi positif Tuhan. Lihat, betapa sempurna Dia mendesain bunga bunga itu. Hanya pecinta yang menciptakan pesona seindah itu. Aku pikir Dia memang pecinta, hanya sukar difahami orang orang. Dia bagai seniman eksentrik yang karya karyanya banyak dihujat, namun dikagumi dan dihargai mahal ketika raganya sudah dikubur berpuluh atau beratus tahun lamanya. “ bung bunga taman bergoyang seolah mengiyakan.
“ Jadi, aku tak boleh berprasangka kepada Tuhan ? “
“ Pengalaman hidupku mengatakan demikian “
Puteri Seruni tumbuh menjadi putri yang cantik. Selepas sekolah menengah, Seruni memutuskan untuk menjadi volunteer bagi benteng kota khususnya di bidang konsuling. Tugasnya kurang lebih menjadi pendengar empatik bagi para penghuni benteng yang frustasi, kesepian, dan tersesat. Seruni menjadi full timer volunteer.
Orang bertanya, kenapa si cantik menjadi volunteer. Jawabannya dua hal. Ia ingin membantu dan merasa berguna. Kedua karena gedung konsul bersebelahan dengan ruang bedah tempat ibunya bekerja nyaris 24 jam. Ia ingin menjadi anak yang mengurus ibunya yang beranjak tua. Usia yang memunculkan banyak kekhawatiran, terutama menyangkut kesehatan. Memang kuno. Tapi Seruni bergeming.
Apa yang dikhawatirkan Seruni terjadi juga. Daya tahan ibunya ada batasnya. Profesi dokter bedah bukan main menguras tenaga dan pikiran, terlebih bagi wanita memasuki usia 60 tahun. Stroke telah menghentikan laju dr. Laila. Seruni memilih untuk merawat sendiri ibunya. Ia berhenti jadi voulenteer.