11 Hari Usus Buntu (43)
Bab VII
Pendeta Nyasar
Senin hari ke tujuh. Berarti hari ke lima sejak operasi.
Tubuhku mulai terbiasa didera rasa sakit. Disuntik insulin, diganti perban
dengan bonus pijatan pada bekas luka sayatan, di tusuk jarum kecil pada jari
buat cek gula darah, dan kali ini tusukan jarum di tangan kanan karena selang
infus harus pindah tangan lagi.
Namun ada juga kejutan menyenangkan dari tuhan berbaju putih. Masih tetap
dengan gaya yang sama, tapi ia mengijinkan aku minum dengan porsi satu gelas !
Horeeee, bagai musafir yang ketemu oase di tengah gurun pasir.
*****
Awan mendung di
wajah Hardy mulai tersingkap. Kemarin ia nyaris berputus asa karena janji temu
dibatalkan sepihak oleh sang untadz. Kemarin siang itu Ustadz harus menjemput
serombongan peziarah 308. Oh, itu artinya mereka yang akan berziarah ke kamar
308 di Samudra Beach Hotel. Kemudian janji temu di alihkan ke malamnya. Namun
masih saja Hardy harus menunggu lama di lobby hotel. Tapi ia nyadar dirinya bukan tamu VIP.
Entah apa yang
dicari orang di lantai 3 kamar 308 plus ritualnya di bibir pantai saat malam
dan ombak pasang. Serombongan ibu ibu berpakaian putih membawa botol air
mineral keluar dari lift. Mereka ditemani ustadz teman Hardy itu. Sejurus kemudian
mereka meninggalkan lobby ke arah pantai. Resepsionis yang kayaknya sudah
terbiasa dengan pemandangan ini hanya mendengus acuh tak acuh.
Lebih dari sekedar
kamar 308, hotel ini seharusnya dihargai lebih sebagai warisan sejarah.
Dibandrol sebagai hotel bintang empat, hotel ini konon dibangun atas gagasan
Bung Karno dan
dibangun dengan biaya pampasan perang dari Jepang. Jejak jejak
Bung Karno sungguh terasa di hotel ini. Sebuah lukisan dari ukiran kayu
memenuhi dinding 3m X 5m di coffee shop. Warna lukisan identik dengan kayu
dipelitur. Kelihatannya menggambarkan perempuan dengan cakra di kepala sedang
memberikan berkahnya kepada para nelayan. Mungkin itu Nyi Roro Kidul, atau ada
juga yang menyebut Nyai Ratu Kidul, tergantung versi sejarah yang dipegang. Nyi
Roro berhubungan dengan Ratu Pantai Selatan yang juga berhubungan dengan
kesultanan Jogja. Nyai Ratu Kidul berhubungan dengan akhir Kerajaan Pajajaran.
Sayang memang. Dihadapan lukisan ukir kayu ini ditaruh
meja dengan mesin minuman sirup. Dari kursi kursi kafe, keindahan lukisan terganggu penempatan yang serampangan ini. Manajemen kurang menghargai nilai sebuah
karya seni. Bung Karno bisa marah atas ketidakpantasan ini.
Sebuah lukisan yang lebih besar memenuhi dinding di
ballroom Angklung. Mungkin luas lukisan sari mozaik keramik ini sekitar 3m X 20m. Lagi lagi menggambarkan kehidupan pesisir.
Warnanya lebih atraktif dengan memainkan warna warna cerah. Dan lagi lagi
mozaik ini kurang diperhatikan sepantasnya.
Bergerak ke kolam renang, wanita wanita telanjang dalam
bentuk patung sungguh eksotik. Rasanya Soekarno banget. Sementara tamannya
ditemani patung anak anak dan gembala. Indonesia banget. Hotel ini mungkin
kuno, tapi Republik banget. Merdeka!
Lamunan Hardy dikejutkan sapaan sang Ustadz yang entah
tiba tiba datang dari mana. Setelah berbasa basi cukup panjang, sang kawan
menceritakan situasi yang dialami Hardy. Lama sang ustadz merenung, akhirnya,
“ Ana harus datang langsung memeriksa majikan Hardy.
Insya Allah besok setelah ashar ana sampai di Sukabumi “ katanya mantap.
“ Aduh, makasih
kang, Hardy jadi berhutang budi “ sambut Hardy
sedikit berbasa basi. Kepalanya sampai membungkuk bungkuk.
Hardy merogoh HPnya. Dia mencari nomor Ninok. SMS
dilayangkan. Sementara rombongan peziarah yang nampak basah melintasi lobby.
Dini hari Hardy meninggalkan hotel dengan mata yang teramat ngantuk.