11 Hari Usus Buntu (10)
Mataku terbuka. Yang pertama kulihat Ninok. Kemudian
wajah ibu mertua yang cemas. Sementara nenek mertua menggenggam minyak wangi
agak keras yang baunya masih tercium di hidungku. Sejenak kemudian suster yang
dipanggil datang ke ruangan. Wajahnya tersenyum professional. Tenang saja
katanya. Hanya pusing biasa karena masuk angin. Tekanan darah normal, gula
darah mulai membaik. Untung saja skenarionya begitu. Repot bila suster berkata
jujur : aku pingsan setelah melihat kucing. Tolong saja kasih minum.
Aku minta tirai pembatas dirapatkan. Remot AC kupijit
hingga suhu 16 derajat Celcius. Kulirik siapa saja sekarang para penjagaku.
Ninok, ibu mertua, nenek mertua, dua bibi lainnya yang berbeda. Mereka bicara
pelan saling bergumam. Terlalu banyak orang untuk nungguin seorang pasien. Tapi
baguslah. Aku bersyukur atas perhatian yang diberikan.
Hari ini berat dan melelahkan. Usai makan malam aku
segera saja tertidur pulas.
*****
Suara bisik bisik membangunkanku. Secara reflek yang
pertama kulihat adalah labu infus. Aman, masih penuh. Jam dinding menunjukan
01.30 dini hari. Para penjagaku nampaknya tertidur pulas. Sisa sisa gorengan
masih terserak di meja tamu. Nampaknya ada pesta kecil kecilan menjelang tidur.
“ ….kamu
menakutinya tadi siang” nyaris berbisik,
“ Sumpah
bos. Tadi itu hanya lewat. Tiba tiba saja nomor 6 terkulai seketika….” Kata
teman satunya lagi.
“….Hmmm “
“ Mungkin
kasus catphobia**), bos?”
“ Aku rasa
bukan .”
Kucing lagi. Aku yakin itu kucing yang tadi malam.
Kucing. Kucing. Kucing. Sekarang aku benar benar menjadi gila beneran. Sudah
menjadi gila, segila gilanya. Gila jenis baru : aku bisa mengerti bahasa
kucing. Aku bisa mendengar mereka bercakap. Mungkin malah sebentar lagi akan
berubah wujud menjadi kucing. Lalu orang orang akan menuduh aku nyegik, muja kepada kucing. Anak anak akan malu
punya bapak kucing, istriku mungkin segera menggugat cerai. Tapi, hey, hey,
tunggu dulu : ini anugerah atau kutukan?
Jangan jangan hanya efek obat obat yang dicekokkan kepadaku, dan telah
menyebabkan aku berhalusinasi?
Baiklah aku pasrah menerima – katakanlah – anugerah ini. Tuhan selalu tahu yang terbaik untuk
umatnya. Sebuah ungkapan yang sebenarnya tidak terlalu cocok untuk ukuran buraong***) seperti aku.
“ Kakek
buyutku pernah menceritakan legenda manusia yang bisa bercakap bahasa binatang
”
Kata kucing bos perlahan.
“ Okay”
“ Namanya
Sulaiman. Ia Nabi, digdaya, dan kaya raya.”
“ Tak adakah
nabi dalam habitat kucing ? “
“ Sulaiman dianggap juga nabinya para kucing. Beberapa
pengikut Sulaiman nampaknya berbakat meneruskan kepandaian berbahasa hewan, khususnya bahasa kucing. Dari generasi ke generasi orang orang dalam lingkungan terbatas
mewarisi bakat alam ini. “
“ Maksud
bos…. Orang ini salah satu dari mereka? “
“ Kejadian
tadi siang membuatku berpikir begitu “
Aku tercenung. Gerakan ringan memanjat terdengar diikuti
cakar mencengkeram. Rupanya kucing bos sekarang nangkring di atas pagar
pembatas koridor. Kucing yang memperagakan yoga dihadapanku tadi siang datang
menyusul.
“ Ingat
percakapan terakhir kita disini? “ Tanya kucing bos memulai lagi percakapan.
“ Tentang….
doyan makan? “
“ Ya,
kebiasaan yang mungkin segera akan membunuhnya. Rakus. Bodoh. Kemaruk. Suatu hari, aku yakin, daya tahan tubuhnya
tidak akan sanggup lagi menahan beban sampah yang kian menumpuk. Apa yang dia
alami hari ini hanya pertanda awal. “
“ Bos….”
“ Telah kusaksikan
ratusan kali dalam hidupku ini. Dari tahun ke tahun manusia mati karena rakus
memakan apa saja. Sebaliknya terjadi pada habitat kucing. Sudah berakhir masa
keemasan kucing era fira’un Mesir, saat
habitat kita dipuja sebagai mahluk suci. Tak ada lagi Abu Hurairah - sahabat nabi
- yang memperlakukan kucing bak anaknya sendiri. Kucing era kita adalah kucing
buduk yang mengais ngais sisa makanan dari bak sampah. ”
Tiba tiba saja aku tersadar sejarah kucing setua sejarah
manusia sendiri. Mereka menjadi saksi jatuh bangun sebuah peradaban dari lorong
lorong gelap saluran pembuangan. Kala habitat mereka mengecil, wabah sampar
tiba tiba meluas. Saat kucing berimigrasi besar besaran ke kota, sawah sawah
petani diserbu tikus. Saat manusia tidak lagi mau berbagi makanan dengan kucing,
mereka menderita obesitas.
“ Jadi selanjutnya gimana, bos? “ Tanya kucing yoga.
“ Baiklah akan kuceritakan satu rahasia kecil kepadamu.
Bapakku mendapat cerita ini dari bapaknya, bapaknya dari bapaknya, begitu
terus. Konon katanya moyangku adalah kucing kesayangan seorang bangsawan atau
ksatria macam gitulah di kerajaan yang aku sendiri tak peduli. Entah juga kapan
kerajaan ini pernah ada. Nah, orang ini adalah keturunan ke sekian dari
bangsawan atau ksatria itu tadi. Dan karena wasiat moyangku itu, aku harus mengawasi si bodoh ini terus
menerus. Juga keturunanku harus mengawasi keturunannya. Cih, membosankan. Tapi
ini amanah, jadi aku jalankan saja. “
“ Jadi bos sudah mengikutinya selama ini ? “
“ Sialan. Ya. Anak ini tumbuh dari keluarga biasa,
mungkin tepatnya kukatakan pas pasan. Jarang kelebihan makanan yang dia bisa
santap. Bahkan saat kuliah nyaris kelaparan. “ Aku jadi teringat kucing putih
abu abu yang kerap datang ke tempat kos ku. Dia kucing kesayangan ibu kos.
Si bos melanjutkan “ Keadaan berubah sejak dia bekerja
lima belas tahun yang lalu. Duit mulai mengalir. Mungkin dia dendam atas
kehidupan masa lalu yang membatasi. Akhirnya, ya… tadi. Nafsu makannya jadi
tidak terkendali dan, sayangnya, dia sangat sombong dengan kondisi tubuhnya. “
Suara langkah perawat menghentikan mereka. Dia hanya
melintas saja di depan kamarku. Mungkin menuju kamar lain. Jam selarut ini…
“ Semoga ada
orang yang mengingatkan hidupnya sekarang dalam bahaya. Kesombongan mendahului
kejatuhan. Keserakahan mendekatkannya pada sakratul maut. “
Kedua kucing
itu berlalu.