11 Hari Usus Buntu (9)
Roqib dengan sigap mencatat. Dia tersenyum puas kliennya
masih mengingat nama Tuhan dalam keadaan panik sekalipun. Naga naganya dia akan
menang taruhan dari koleganya ‘Atib. Sedangkan ‘Atib hanya mengangkat bahu.
Grafik didepannya mencatat keunggulan skor tipis di kolom pahala. Kolom garapannya, dosa
dalam setahun kebelakang sempat membukukan keunggulan selama berbulan
bulan. Melewatkan solat adalah catatan dosa yang banyak menyumbang skor.
“ Sabtu sore nanti aku akan mengambil uang taruhannya,
bro. Aku akan meminta bebas tugas akhir pekan dan nonton bola. Ok ? “ kata Roqib ringan. Bibirnya tersenyum.
Tangannya disimpulkan di belakang kepala. Kakinya diselonjorkan di atas meja.
Dia sedang senang. Pikirannya menerawang.
“ Jangan dulu terlalu yakin. Orang ini masih berpotensi
melakukan dosa pada waktu yang sangat sempit. Sama lah saat MU membalikkan keadaan dan menggasak Munchen 2 – 1 dalam
waktu 112 detik “ jawabnya gigih. Statistik adalah minatnya yang lain. Matanya
masih terpaku pada layar monitor.
“ Tapi ini bukan liga Champion. Kita lihat saja nanti “
balas Roqib yang sudah terlanjur senang. Dia beranjak hendak mengambil kopi.
*****
Yang kuingat samar samar perawat mengganti cairan infus.
Rupanya ibu mertua cukup sigap mengetahui labu infus mulai menipis. Aku
terlelap lagi.
Ba’da subuh petugas lab mengambil sampel darah. Aku
dibangunkan dengan sopan. Usai menjejalkan kapas beralkohol ke jari tengah
kananku, dia terlihat membaca angka digital di alat kecilnya.
“ berapa?” tanyaku parau.
“ 274” jawabnya sambil beranjak pergi. Rupanya masih
banyak pasien yang hendak dia tangani.
Oh Tuhan,
berapa suntikan insulin lagi yang harus aku terima.
*****
Dengan menggunakan kursi roda aku didorong menuju
instalasi Radiologi. Yang mendorongku adalah perawat yang sudah cukup berumur
namun tangannya kuat untuk menangani mainan rumah sakit ini. Kita harus
bergegas, katanya. Antrian di ruang Radiologi hari ini sangat panjang.
Benar saja. Lobby telah dipenuhi orang berbagai posisi.
Duduk, berbaring, mengaduh, menerawang, renta, sampai diperban tak keruan.
Perawat yang mendorongku tak peduli, atau mungkin sudah
terbiasa dengan pemandangan ini. Dia terus mendorongku, bahkan dipercepat saat
memasuki lobby. Dia membuat gerakkan zig zag, nyaris menabrak kursi roda lain
yang sedang atret. Beruntung sempat banting ke kanan tepat pada waktunya.
Valentino Rossi mungkin akan salut kepadanya. Aku langsung dimasukkan ke
ruang USG.
Cairan cairan dingin dioleskan disekitar perutku. Alat
mulai bekerja. Selesai kata dokter radiologi. Tinggal nunggu pembacaan hasil
USG. Sementara beberapa staf mengeluhkan printer yang macet, aku melihat
antrian yang makin panjang di Lobby Radiologi. Tuhan menciptakan penyakit.
Aku kembali didorong diatas kursi roda. Infus yang tidak
dilepas sedikit agak merepotkan. Namun kali ini si ibu ditemani seorang perawat dari Paviliun Seruni.
Bahkan Jarak yang cukup jauh antara Radiologi dengan
ruang rawat inap masih terasa dekat mengingat sepanjang selasar penghubung dipenuhi para pembesuk yang menghabiskan waktu dengan mengobrol duduk duduk di tepian selasar. Pemandangan yang mungkin hanya kalah oleh
pasar malam dan korsel yang kerap datang ke kampung mertuaku.
Sebagian pembesuk yang membawa anak anak membiarkan
mereka berlarian di taman. Jendela jendela rawat inap barak terlihat di buka
lebar lebar. Para ko as terlihat bergegas mengikuti mentor mereka dengan wajah
serius. Dibanding dengan rekan rekan mereka di fakultas ekonomi, tampilan
mereka sungguh jadul.
Tiba tiba saja - kalau saja bukan di tempat umum - aku
ingin tertawa terbahak bahak karena frustasi. Aku selalu menganggap tubuhku
adalah jenis bibit unggul seperti halnya ras arya versi Hitler. Kini, terduduk
di kursi roda, menjadikan aku satu dari sekian banyak pesakitan yang tersesat
di rumah sakit.
Ironis, sekali lagi ironis kawan, dengan kenangan tahun
tahun menjelang akhir kuliah, saat novel novel sesat John Grisham baru saja
diterbitkan : The Firm, The Client,
Pelican Brief. Novel novel hedonis yang mencuci otak jutaan anak muda
menjadi pengikut High Living : Daya
tahan tubuh yang sempurna, kerja keras, kekayaan yang deras mengalir, thriller, dan akhirnya happy ending. Aku mulai berpikir pikir
agar negara melarang saja peredaran novel novel jenis ini, dengan jargon :
bahaya laten John Grisham.
Karena selasar yang menurun, beberapa kelokan dilalui
dengan susah payah bahkan oleh dua
suster yang mendorongku. Di kelokan terakhir seekor kucing melintas. Ia tidak
mengeong, hanya menatapku tajam. Mulutnya menyeringgai. Seketika ia menekukkan
punggungnya ke arah bawah dengan kedua kaki depan jadi tumpuan. Mirip gerakan
yoga. Tiba tiba aku kehilangan kontrol atas kepalaku. Yang terakhir kudengar
teriakan suster.