11 Hari Usus Buntu (11)
Aku
mendapati tubuhku masih berbaring di ranjang dan kamar yang sama. Namun kudapati
tubuhku sudah kering kerontang. Benar benar tinggal tulang. Orang orang
mengerumuniku. Mereka menangis nangis histeris. Ninok duduk di samping
ranjangku. Diapun meraung raung.
Sementara kedua anakku berdiri di samping ibunya. Mereka tampak kebingungan.
Hi everybody. Ini aku. What’s up ? Seorang dokter perempuan menyeruak diantara
kerumunan. Dia memeriksa mataku dengan senter. Kemudian memegang nadiku. Orang
orang terdiam.
“ Bapak telah pergi, “ katanya, pelan tapi tegas. “ Mohon
direlakan. “
Tangis meledak. Ruangan di penuhi raungan. Anak anakku
turut menangis. Mereka tampak ketakutan ditengah orang orang dewasa yang
menangis sejadi jadinya.
Aku terpaku melihat tubuhku yang bergoyang goyang kaku
saat Ninok dengan histeris menjerit jerit lepas kontrol. Bibi bibiku
memeganginya. Seorang perawat menutup sekujur tubuhku, mulai dari kaki sampai
wajah, dengan kain. Aku resmi dinyatakan meninggal. Tapi karena apa?
Aku penasaran. Ku kejar dokter tadi. Kulihat dia sedang
berjalan di selasar bersama perawat.
“ Kadar gulanya sudah melebihi range 60 - 600. Tubuhnya sudah tak tahan lagi menahan komplikasi
yang ditimbulkannya “ kudengar suara dokter tadi kepada si perawat.
Blankar yang berisi korban kecelakaan
berpapasan dengan mereka. suaranya berderak derak seperti kereta api. Brak,
brak, brak.
Bahkan kedua orang ini menengokpun tidak. Mungkin sudah ribuan kali pemandangan
ini lewat di depan mata mereka. Lama
lama rasa ngeri di kalangan praktisi medik makin tumpul rupanya.
“ Beberapa minggu ke belakang pasien kita ini sudah menolak cuci darah. Inilah
jeleknya penyakit ini. costnya
membebani orang orang disekitarnya “ lanjut si dokter.
“ Akan saya siapkan surat kematiannya. “ kata si perawat.
Azroil mengawasi layar monitor. Di belakangnya duduk Roqib
Atib.
“ Orang ini makin menarik saja “ gumamnya, “ aku
mengiriminya mimpi simulasi penjemputan,
karena ada kejutan dia mengerti bahasa kucing. Kucing kucing yang dengan
manisnya memberi dia peringatan. Jadi sekalian saja kutambahin bagaimana akhirnya bila pesta pora makan makan ini
dilanjutkan
“
“ Agak terlalu mengerikan, bro “ komentar Roqib.
“ Belum pernah kulihat orang sekurus ini “ tambah ‘Atib
tak kalah dramatis.
“ Mudah mudahan mujarab “ sambung Azroil, “ dulu divisi
simulasi pejemputan belum bisa membuat simulasi dengan animasi 3 dimensi
secanggih ini. Mereka kerap
hanya mengirim gambar gambar 2 dimensi hitam putih. “
‘Atib mengambil alih mouse dan kembali memutar ulang
simulasi. Detail detailnya bagus, walaupun dia kurang setaju dengan adegan menangis
meraung raung yang dilakukan sebagian pelayat. Terlalu dramatis.
“ Ngomong ngomong, mengapa kemampuan berbahasa kucing ini
tidak tercatat dalam resume kalian? “ dia memutar kursinya, menatap bolak balik
wajah Roqib ‘Atib.
“ Kemampuan ini baru muncul tiba tiba, bro “ kata ‘Atib
membela diri. Diiringi anggukan Roqib.
“ Ah, sudah. Nyantai
aja. Oh, ya aku mendapat informasi operasi kemungkinan dilakukan besok
hari. Aku tidak berencana memasukan memori apapun ke dalam otaknya selama operasi.
Terlalu berat buatnya. Kalian mungkin akan agak bekerja keras pasca operasi.
Orang kebanyakan agak tak waras didera rasa sakit setelah operasi. Moga moga
orang ini tabah. “
Di layar monitor sang pasien tertidur gelisah. Mungkin
simulasi penjemputan lewat mimpi yang dikirim Azroil agak terlalu nyata
baginya.
“ Mengapa Tuhan tidak segera saja menyudahi
penderitaannya… “ gumam Roqib.
“ Bagian itu, siapa yang tahu ? “ balas Azroil nyaris
berbisik.
“ Dia Maha Pengasih ... “ ujar ‘Atib.
“ Dan Maha Penyiksa, tentu saja…. “ Azroil meninggalkan
mereka berdua.
*) hantu, dalam bahasa Sunda.
**) takut akan kucing ?
***) orang yang susah diatur, dalam bahasa Sunda.