11 Hari Usus Buntu (12)
Bab III
Operasi itu dan Tante
Jessy
Kamis, hari ketiga. Insulin lagi. Petugas lab lagi. Sadar
nasib lampu hijau operasi ditangan mereka, aku pura pura bersabar. Hari itu
kadar gula darah mencetak rekor terendah. 128. Namun menu Rumah Sakit masih
tetap menyebalkan. Lauk tanpa garam dan
nasi lembek. Tak ada alternatif lain untuk sarapan. Benar kata nabi,
surga itu ada di rumah. Bukan di RS.
Aku mulai menganggap para suster sebagai malaikat, dan
para dokter sebagai tuhan dengan t kecil. Tuhan berbaju putih, dan malaikat
berpakaian biru kehijauan. Para OB yang dua kali sehari membersihkan ruangan
bolehlah disebut jin. Pakaian mereka merah dengan celana hitam. Alih alih OB,
tampilan mereka sebenarnya lebih menyerupai boy band. Lihat saja rambut mereka,
dan jeans ketat yang dipakainya. Sayang memakai asesoris rantai dilarang. Aku
tak punya sebutan untuk ibu ibu instalasi laundry yang mengganti kain sprei dan
selimut setiap pagi. Kalau mau juga dikasih nama, peri rumah kayaknya cocok. Benar. Seperti peri rumah dalam kisah
Harry Potter. Tentu saja telinga ibu ibu ini tidak panjang.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengenali para malaikat
yang berjaga di Paviliun Seruni. Mayoritas adalah malaikat perempuan. Agak
susah mengenali nama mereka yang terajut di seragam suster, karena terhalang
jilbab. Semua suster menggenakan jilbab. Menanyakan nama mereka, aku sungkan.
Mereka cantik cantik dan masih muda muda.
Hanya ada dua malaikat laki laki. Yang satu namanya mirip
mirip Elang. Jadi yang satunya aku panggil Rajawali.
Dengan perawat laki laki atau mantri, aku lebih lancar
mengobrol. Usia mereka di kisaran 30an. Menikah dengan satu dua anak. Istri
mereka juga perawat atau bidan, sering di Rumah Sakit yang sama. Dunia memang
semakin sempit. Mereka semua dedikatif. Tak pernah kudengar mengeluh.