11 Hari Usus Buntu (13)
Kabar baik datang menjelang siang. Dengan modal Kadar
gula darah dibawah 200 dan hasil USG yang telah terbaca, operasi direncanakan
dilakukan sekitar jam 4 sore. Tak ada acara makan siang. Aku harus puasa total.
God bless me, God Bless Hospital ! amin, amin, amin.
Segera saja berita menyebar. Makin banyak saudara yang
datang. Ruanganku sesaat menjadi rumah do’a. Ayat ayat suci dilantunkan. Para
pengunjung yang tidak kebagian tempat mengobrol di lobby. Kalau pengunjung
makin membludak, aku merencanakan menjual tiket.
Aku menghabiskan waktu dengan coba tidur menenangkan
diri.
Pukul 15.00. Perawat datang dengan pisau cukur. Bapak
harus cukuran, katanya. Perut dan dibawah perut. Entah maksud medis, tapi aku menganggap ini
ritual suci menjelang operasi. Hasilnya lumayan, daerah bawahku jadi ‘bersih‘.
Mungkin juga dikhawatirkan dokter dan kru bedah akan terganggu bila selama
operasi seorang bertampang brewok terus menerus memperhatikan kerja mereka. Kalau tampangnya klimis, mungkin lebih bisa diterima.
Dan tibalah saat itu. Puku 15.58. Orang datang berduyun
duyun ke kamarku seperti hendak mengantar orang naik haji. Nenek mertua
menangis pilu. Banyak yang melafadzkan do’a
dengan khusuk. Dua orang anakku hanya saling menatap wajah masing masing. Untuk
momen sepenting ini rupanya mereka sepakat berdamai, tidak menciptakan
keributan seperti biasa. Sementara Ninok membahasi dahiku dengan air do’a dari Mualim Ajud.
Kursi roda didorong perawat. Orang orang memekik
tertahan. Aku mengangkat tanganku, dan mengacungkan jari membentuk hurf V. Victory, maksudku. Tenang saja. Aku baik
baik saja. Namun menurut Ninok saat mengenang momen itu beberapa waktu
kemudian, aku lebih mirip Yasser Arafat di tengah para fansnya. Janggutku mulai
tumbuh lebat.
Alam merestui keberangkatanku. Matahari bersinar tanpa
awan berarti. Angin bertiup sepoi sepoi. Sesampai di ruang tunggu operasi, aku
berganti kendaraan. Tubuhku sekarang dibaringkan di sebuah kereta dorong.
Bajuku diganti dengan pakaian operasi yang mirip pakaian tidur. Suara kereta
dorong mulai berderak menimbulkan gema kecil saat memasuki lorong.
Aku sadar, telentang di atas kereta dorong yang melaju perlahan memasuki lorong berwarna biru langit.
Lampu lampu terang bergerak di atas kepalaku.
Sekilas aku mendapat pencerahan. Betapa semunya hidup
ini. Bila ini akhir kehidupan, maka semua yang kukejar selama ini tak ada
artinya.
Di ujung lorong, aku dibaringkan di tengah ruangan
sebesar 6 X 6 meter, dengan posisi mirip yesus kristus : posisi salib, seperti
yang sering kulihat di gereja gereja. Sebuah lampu bundar besar mengapung di
tengah ruangan dan tepat mengarah ke perutku.
Tangan kiri dibebat selaput hitam yang mengembang dan mengempis tiap
berapa menit. Sebuah monitor menyala dengan tampilan angka angka dan bunyi
denyut berirama.
Tinggal perawat perempuan yang ada diruangan. Dia itu
tadi yang mendorong keretaku. Terhadapnya aku meminta permohonan terakhir
sebelum operasi : aku pingin pipis. Dia menyodorkan pispot, kemudian pergi tahu
diri. Sekarang aku siap.
Tiga alien
masuk tanpa bersuara. Tubuh meraka sama birunya denagan warna ruangan. Tak ada
rambut, mulut, tanda kehidupan hanya tampak dari gerakan bola mata mereka. Tiba
tiba alien
pertama dengan cekatan menusukkan jarum kecil dan mencerap darah dari jemari
tangan kiri. Setelah bunyi mirip poliponik HP, mukanya mengangguk pada dua alien lain yang berdiri di belakang
kepalaku. Alien kedua mulai
menyingkap bagian perutku. Bahasa tubuhnya menunjukan sedang menyidik nyidik
bagian tertentu dari penggilingan
makananku selama ini. Mulutnya menggumamkan kata kata tak jelas. Alien
ketiga nampaknya lebih periang. Kudengar dia mendendangkan lagu dibalik masker
yang ketat menutup mulutnya. Ku coba keras mengenali lagu apa yang dia
nyanyikan. Namun otakku yang sudah
setengah mati ketakutan enggan diajak berpikir. Tiba tiba dia meraih tangan
kananku dan mulai menancapkan selang selang kecil di nadiku. Rasa dingin mulai
menjalari lengan. Setelah itu dunia menjadi gelap…..