11 Hari Usus Buntu (14)
Di bagian ini aku tak kan berbohong dan mendramatisir
cerita. Walaupun sebelum operasi aku dijejali banyak kisah macam macam, aku
tegaskan : Aku tak merasa apapun, tak mengalami kisah apapun. Mungkin dokter anestesi
yang membiusku memang jempolan memberikan dosis yang tepat untuk pengkhayal
kelas berat seperti aku.
Meskipun demikian, aku akan ceritakan juga kisah Haji
Endang Sadani yang pernah mengalami
operasi jantung. Aku sungguh tak meragukan kejujuran Haji bercerita meskipun
dia pemborong kawakan. Dan aku pikir,
inilah kisah operasi terbaik yang pernah aku dengar.
O ya. Aku mengenal Haji Endang Sadani sekitar 9 tahun
yang lalu. Asli Tasik. Sekilas mirip Sean Conery berjanggut putih atau Rhoma Irama versi lebih jangkung. Orangnya
sederhana. Seorang muslim yang ta’at, pengusaha jujur, walau, sekali lagi
beliau pemborong. Orang sering bilang beda pemborong dengan pembohong hanya
masalah huruf ‘r’ dan ‘h’. Tapi pak Haji pemborong tulen, pemborong beneran.
Yang membuatku lebih takjub adalah beliau membuat
perusahaan patungan dengan seorang Chinese
dan katolik totok pula. Namanya Paulus. Kalau merujuk pada bintang film
mandarin, Paulus mungkin lebih mendekati Jacky Chen ketimbang Jet Lee atau Chow
Yun Fat. Tapi menurutku Paulus lebih mirip Lius Pongoh, dengan versi yang lebih
tambun. Haji dan Paulus. Sean Conery dan Lius Pongoh. Sebuah paduan aneh. Yang
satu berjanggut putih, kopiah haji tidak pernah lepas dari kepalanya. Satunya
bermata sipit dengan kalung salib melingkari lehernya. Dan mereka akur.
Saat operasi baru saja kelar, orang pertama diantara
sahabat sahabat haji yang datang menjenguk, ya si Paulus ini. Mereka sahabat sejati. Dan kalaupun pernah
ada ‘ keisengan ‘ diantara dua sahabat ini, maka itu adalah ulah Haji yang
menyelundupkan kaset solawat ke tape sedan Paulus. Kebayang kagetnya Keluarga
Paulus ketika sepulang dari gereja, tape mereka menyanyikan lagu ‘lain’. Paulus
yang kesal membalas dengan memasang lagu pujian di jeep pak Haji.
Nah, mengenai opearasi itu, inilah kisahnya : ketika
operasi sedang dilakukan, demikian menurut beliau, tiba tiba saja beliau
mendapati dirinya berada dalam sebuah lorong panjang dan gelap. Belum pernah
ditemui seumur hidupnya lorong yang sedemikian aneh. Lorong itu berbentuk
bundar, mirip sumur sumur tradisional dengan diameter 1 – 2 meter. Dalam keadaan panik dan ngeri, dilihatnya
setitik cahaya di ujung lorong. Secara naluriah Haji berlari menuju titik
cahaya yang pikirnya merupakan pintu terakhir lorong. Beliau terus berlari dan berlari. Keringat
deras terus membanjiri sekujur tubuh. Namun titik cahaya itu masih terlalu jauh
untuk digapai.
Semangat hidup mendorongnya untuk terus berlari. Entah
berapa lama pacuan ini terus berlangsung. Luka
dan bisa kubawa berlari. Hingga hilang pedih peri*). Tapi bagaimana bila tenaga sudah terkuras
? Ketika tubuh hampir mencapai titik nadirnya, cahaya itu akhirnya mendekat. Ia
adalah lingkaran setinggi 2 meter, terbuat dari cahaya. Haji Endang dengan
sekuat tenaga menerjang pintu cahaya itu, namun kembali terpental. Cahaya itu
hijab yang tak mudah ditembus. Beliau bangkit lagi dan mulai memukuli hijab
dengan kedua tangannya, menendang nendang dengan kakinya dengan tenaga yang
masih tersisa.
Kini tenaganya sudah musnah semua. Hanya air mata yang
kemudian meleleh membasahi pipinya. Saat itu beliau sudah pasrah menerima
apapun yang terjadi. Matanya dipejamkan untuk memudahkan malaikat melakukan
tugasnya. Tiba tiba hijab terbuka, tubuhnya terjelembab memasuki ruang cahaya.
Ketika akhirnya beliau berani membuka matanya, yang pertama kelihatan adalah
lampu ruangan yang tergantung dibawah plafond bercat putih. Suara yang pertama
yang didengarnya adalah isak tangis anak dan istri.