11 Hari Usus Buntu (16)

     Sontak aku bangun. Aku memburu keluar rumah. Sudah ramai orang berkumpul di sekitar jembatan yang melintang di sungai yang aku ceritakan diatas. Sungai itu tak seberapa lebar. Sekitar 3 – 4 meter. Airnya mengalir cukup deras dan banyak. Beberapa orang menunjuk nunjuk salah satu tepian sungai. Bayinya ditemukan disana!
     “ Kemana bayi itu sekarang? “ tanyaku.
      Ninok yang datang belakangan menyahut “ sudah dibawa tante Jessy ke RS. Bunut!”
     “ Tante Jessy ? “ tanyaku heran.
     “ Ya, untung masih selamat.”
     Aku kembali ke rumah. Tetangga lain yang mulai berdatangan, singgah ke rumahku yang tak jauh dari lokasi kejadian. Polisi mulai juga mulai datang. Wartawan entah dari surat kabar apa juga ikut nimbrung. Sementara Tante Jessy yang baru kembali dari Bunut spontan saja jadi pusat perhatian. Jok mobil Picanto-nya kotor oleh bercak bercak darah.
     Saat itu rumahku jadi seperti balai desa. Di luar massa masih berkerumun. Di dalam, para tetangga, sekuriti, polisi, dan wartawan menjadikan tante Jessy bintang hari itu. Wajahnya jadi sedikit malu malu. Di usianya yang menjelang 40an, kecantikannya masih cukup mempesona.
     “ Gimana kejadiannya bu?” Polisi pertama langsung to the point.
     Tante Jessy menarik nafas panjang. Para tetangga memperhatikan dengan serius. Wartawan dan polisi satunya lagi siap mencatat.
     “ Tadi pagi, sekitar setengah enam, saya keluar rumah untuk menyimpan sampah yang sudah saya kemas. Kemarin sampah saya tidak terangkut karena menyimpannya terlalu siang. Kata mang Ewok - petugas sampah itu – sampah jangan ditaruh lebih dari jam tujuh……”
     “ Bu, bisa langsung ke penemuan bayi itu “ kata polisi pertama memotong. Kumisnya agak terangkat sekarang.
     “ O ya. Pada saat saya sedang merapikan sampah itu, beberapa anak sekolah…kayaknya cowok, tiga orang, seragamnya….SMP lah, teriak teriak sambil loncat loncat. Tangan mereka dilambai lambaikan keatas. Saya melihat kiri kanan. Tidak ada orang lain. Anak anak itu terus berteriak teriak sambil melompat lompat. Ada bayi ! Ada bayi! Ada bayi! …..” Tante berhenti sejenak. Matanya mengitari hadirin yang sekarang mulai terhipnotis.
     “ Keruan saja saya menghampiri mereka. Ada bayi, bu! Itu di tepian sungai. Tak kudengar suara tangis bayi. Tapi ada sebongkah gulungan kain tersangkut di semak semak tepian sungai. Saya yakin itu bayinya. Cukup jelas kelihatan. Wajahnya…merah tapi mulai membiru…”
     “ Tidak ada tangis bayi bu ? ” Tanyaku cepat.
      Tidak…tidak…..tidak………. “ jawabnya mencoba mengingat.
      Siapa yang mengambil bayi itu ? “ sang wartawan mulai menampakkan kewartawanannya.
     “ Saat itu saya langsung hendak menyusur tepian sungai. Tapi ingat kantor satpam tak jauh dari sana. Namun di kantor satpam saya lihat tidak ada siapa siapa.”
     “ K-k-kami sedang patroli ke tempat lain pak “ kata salah satu sekuriti tergagap tak mau disalahkan.
      “ Lanjutkan, bu” ujar polisi kumis menahan sabar.
      “ Untung ada ojek yang lewat dan mau berhenti. Saya minta tukang ojek untuk mengambil bayi di tepian itu. Sementara saya kembali ke rumah untuk mengambil mobil. Saya minta tukang ojek tetap memangkunya mengantar sampai rumah sakit.”
Tukang ojek yang dimaksud hanya menunduk saat semua mata tertuju padanya.
     “ Ngaran saha, jang ?**)” kata si Kumis.
     “ Asep. ”
     “ Imah***) ?”
      “ Babakan Jampang “ kepalanya makin tertunduk. Kasihan aku melihatnya. Dia sebenarnya pahlawan kecil kecilan. Namun sekarang nyaris seperti terdakwa.
     “ Jadi bayinya sekarang masih ada di Bunut ?” polisi satu lagi mulai bersuara. Pandangannya tertuju ke Tante Jessy. Si Asep selamat.
     “ Ya pak. Sudah dimandikan, dan sudah mulai menangis..” jelas Tante Jessy.
     “ Alhamdulillah….” Suara koor hadirin bergema seperti Alhamdulillah syahnya ijab Kabul pengantin.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca