11 Hari Usus Buntu (19)
Sinar matahari telah menerobos bouvenligh jendela kamarku
ketika aku terbangun. Keadaan ranjang rawatku benar benar porak poranda. Ninok
telah berjaga di sisi ranjangku.
“ Air “ kataku lemah, “ Tidak
boleh” sergah Ninok.
Sementara pintu diketuk. Masuk, kata ibu mertua. Dua
orang perawat datang membawa baskom stenles, lengkap dengan waslap. Bapak dilap
dulu ya, kata yang satu tanpa beban. Sementara yang lain pergi ke kamar mandi
membawa air hangat.
Dua orang perawat (perempuan), satu pasien tanpa daya.
Tanpa ragu mereka mulai melucuti T shirt yang aku pakai. Susahnya bukan main
karena selain selang infus, aku memiliki belalai tambahan. Setelah baju
terbuka, baru aku sadar masih ada dua selang yang terhubung denganku : kateter
dan drain dekat bekas sayatan operasi. O ya. Operasi itu.
Aku sekilas mengintip sayatan itu. Masih diperban dengan
panjang tak kurang dari 10 cm. Operasi besar kata Ninok kemudian. Usus buntu
biasa paling membutuhkan sayatan sekitar 5 cm.
Namun sekarang pikiranku terhadap dua perawat itu. Tanpa
ampun mereka melucuti semuanya. Ya, semuanya. Ninok terdiam. Aku melakukan
gerakan konyol dengan menutup kedua mataku dengan kedua belah tanganku. Suster
tertawa perlahan. Setiap inci tubuhku dilap. Aku ngak mau cerita lebih detail.
Serangan kedua datang dari ibu ibu laundry. Berhubung aku
tak bisa turun ranjang, mereka menggunakan siasat menggulingkan pasien, ke
kiri, ke kanan. Sprei, sarung bantal, selimut, diganti baru.
Tirai di buka lebar lebar. Biar udara masuk. Namun
serangan ketiga baru saja dimulai. Masih perawat yang tadi, tapi dengan
peralatan yang lebih mengerikan. Perbanku dibuka. Ouwwww, sakit. Selama proses itu mataku terpejam.
“ Air “
kataku.
“ Tidak
diijinkan”.
Serangan terakhir dari petugas lab. Astagfirullah. Petugas lab itu menggunakan jaket kulit. Alih alih
paramedik, aku melihatnya seperti preman jalanan. Benar benar keterlaluan.
Seharusnya rumah sakit mengenakan larangan berjaket kulit kepada para
karyawannya.
Stres demi stres mengembalikan gula darahku ke angka 240.
Visite pertama dari dokter spesialis penyakit dalam.
Perutku ditempeli stetoskop. Sementara bibirku mulai pecah pecah. Melihat
bibirku yang mulai hancur, dokter mengijinkan Ninok untuk memulasnya dengan
kapas basah.
Karena gerak geriknya yang keibuan, aku mulai berani
bertanya duduk perkara operasi ini kepada dokter keibuan itu. Namun ia
mempersilahkan bertanya kepada dokter yang membedah aku. Jadi aku harus sedikit
bersabar lagi.