11 Hari Usus Buntu (21)
Bab IV
The Incredible Haji Alih
Tuhan berbaju putih ngak jadi datang. Namun Ketika
sorenya aku terlelap, sayup sayup teman teman dari kantor kudengar datang
menjenguk. Kondisiku makin payah. Tanpa setitik pun air yang boleh kuminum,
kerongkonganku kering, terasa sakit hanya untuk sekedar menelan ludah. Jangan
cerita kondisi bibir. Ulasan kapas basah tak banyak menolong.
Sekarang yang kutakutkan adalah malam. Obat pereda nyeri
mulai dikurangi. Aku mulai bertanya tanya persedian air jampi dari mualim Ajud.
Masih ada, kata ibu mertuaku. Komposisi penjagaku mulai berubah : selain Ninok,
ibu mertua, nenek mertua mulai tune in lagi
setelah malam kemarin absen. Dua bibi digantikan dua keponakan yang masih ABG.
*****
Hardy. Kecil. Kurus. Sedikit hitam. Petugas Cleaning Service. Hardy hanya bisa
mendengar. Bosnya sekarang sedang terkapar di Rumah Sakit. Dengan penyakit
mendadak yang mengharuskannya menjalani operasi, entah operasi apa.
Di mata Hardy, bosnya termasuk orang baik. Setidaknya
banyak memberinya tip. Dengan mangkirnya si bos, maka tipnya seminggu ini
berkurang. Ancaman untuk eksistensi dapurnya.
Dia menghisap lagi rokoknya. Masih ada sebatang tersisa.
Dinikmatinya pelan pelan dengan mata menyipit. Apa yang harus kulakukan. Jangan
jangan…..
Ia melanjutkan menyapu ruangan. Saat itu menjelang sore.
Kantor sudah senyap.
*****
Jam dinding menunjukan 9 lewat 15 menit. Aku masih belum
mau terpejam. Ibu mertua mengompres ubun ubunku dengan air jampi mualim Ajud.
Sedikit rasa segar menghampiriku. Rupanya di kampung mertuaku, banyak juga para
spesialis.
Selain mualim ajud, ada Haji Aah yang spesialis nyebor. Sementara Mang Sueb adalah
spesialis kesurupan. Ada spesialis keseleo dan terkilir, itu A Daman. Ada
spesialis tempat bertanya kehilangan barang. Aku lupa namanya. Jangan
merendahkan, mereka juga mempunyai ahli kartu tarot. Sayang aku juga lupa
namanya. Ahli mesjid, milik bapak mertuaku, Dayat. Sementara untuk urusan
pembagian zakat, masyarakat hanya percaya pada kakek mertuaku, aki Madin.
Namun diantara bintang di langit, ada bintang yang lebih
besinar. Sinar itu milik legenda Haji Alih. Setiap orang kenal haji Alih.
Almarhum.
Mengisahkan haji Alih bisa menghabiskan waktu separuh
malam. Ibu mertua dan nenek mertuaku saling bersahutan menceritakan kehebatan
Haji Alih. Semua diurai dengan semangat menggebu. Benar benar The incredible
Haji Alih.
Sosoknya biasa untuk ukuran orang Sunda. Dia bukan pendekar ataupun dukun. Dia bisnisman.
Core bussines-nya adalah Toko Material bernama Barokah. Tiga kali menunaikan
ibadah haji, lima kali menikah. Kekayaanya bukan alang kepalang. Sampai
kematiannya, orang tidak bisa menghitung berapa puluh kotak sawah yang
dipunyainya.
Namun bukan itu yang membuatnya besar. Kedermawanannya
tiada banding. Sampai detik ini, tidak ada yang bisa mengalahkan beliau dalam
hal kedermawanan. Orang yang melampaui kekayaannya, mungkin kini sudah banyak.
“ Bahkan di antara anak anaknyapun, tak ada yang seperti
Haji Alih “ komentar ibu mertua.
Pernyataan
ibu mertua mengingatkanku pada kisah para kampiun bisnis di kotaku. Ada
kesamaan mencolok para kampiun bisnis itu : Pendidikan mereka paling tinggi
adalah sekolah dasar ! dan…. Kemudian nama mereka bertambah dengan gelar : Haji
!
Sebut saja yang paling menonjol adalah Haji Ading. Beliau
adalah kampiun bisnis di bidang pom bensin sehingga tak urung banyak orang
memanggilnya si Raja Minyak. Pom Bensin yang dulunya hanya satu lantas beranak
pinak, sehingga kalau ditanya kepunyaan siapa saja pom bensin se-Sukabumi, hampir pasti semua kepunyaan beliau. Orang
berkisah bagaimana beliau memulai bisnisnya dari nol. Bisnisnya kemudian
diteruskan anak sampai cucu, sehingga nama belakang beliau dipakai sebagai nama
dinasti kerajaan bisnis. Salah satu yang menjadikan dinasti beliau bertahan
sampai kini adalah karena tingkat pendidikan anak anaknya yang memadai. Rata
rata mereka lulusan S1 bahkan lebih.
Kenapa masalah pendidikan ini ku sorot, karena ada juga
kampiun bisnis yang hancur seiring wafatnya sang pendiri.
Dahulu pernah berjaya sebuah perusahaan otobis yang lagi
lagi dibangun seorang Haji. Diantara himpitan perusahaan bus yang dikuasai
pengusaha Tionghoa, PO. Welas Asih tampil gemilang dengan deretan bis bis
terbaru. Namun sayang anak anak pak Haji tidak setara kualitas bapaknya. Bahkan
pun ketika mendiang pak Haji masih hidup, ada anaknya yang berani menghentikan
bis yang sedang beroperasi, dan kemudian mengambil uang setorannya. Tentu saja
sopir dan kondektur tidak berdaya menghadapi anak bos !
Kisah ‘pembajakkan’ bis ini disampaikan dari
mulut ke mulut, menjadi perbincangan seru dari terminal ke terminal, seiring
berhenti beroperasinya bis Welas Asih sepeninggalan pak Haji. Mungkin para Begawan bisnis bisa mengutipnya
sebagai bahan kuliah mereka, dan mengomentarinya sebagai tujuh kisah paling memilukan dalam sejarah
manajemen perusahaan. Bisa di tebak akhir cerita. Setelah pak Haji wafat,
perusahaan musnah tak berbekas