11 Hari Usus Buntu (23)
Sesuai perjanjian, Hardy menunggu temannya dengan
gelisah. Janji janji tinggal janji. Janji jam 22.00 temannya tak juga muncul.
Tirai jendela dibiarkan terbuka. Daun jendela juga dibiarkan sedikit terbuka.
Dia mengawasi kebun pisang yang banyak ditanam di daerah itu.
Angin laut membuat daun pisang berkibar kibar dan
menimbulkan bunyi desau yang khas. Sebuah benda hitam bergerak perlahan di
antara akar akar pohon. Sesekali berhenti untuk waktu yang cukup lama. Kemudian
kembali bergerak diringi bunyi segrok basah. Hardy menghitung itu babi hitam
kedua malam ini. Mereka datang jauh jauh dari bukit hutan untuk mencari cacing
pohon pisang. Mungkin rasanya lebih enak dibanding cacing pohon lainnya.
Binatang lainnya yang sering beredar di kebun pisang
adalah burung puyuh. Hardy biasa memburunya sebagai santapan makan malam. Rasanya lebih
anyir dari daging ayam. lebih enak kalau dibakar dan di baluri kecap. Hm,
membangkitkan selera. Namun saat berburu ia harus berhati hati terhadap terkaman meong congkok
atau kucing hutan yang siap menerkam tengkuknya.
Jam 1.32, dia melirik jam dinding. Dari kejauhan deru
sepeda motor mangkin mendekat. Dia mengintip dari tirai jendela ruang tamu.
Benar. Yang dinanti sudah tiba.
Rumahnya agak berjarak dari tetangga tetangga
sekampungnya. Dia tinggal agak ke bukit yang tersembunyi dan berangin. Malam
ini angin berhembus kencang, namun kemarau menjadikannya kering. Bintang
gemintang tertutup awan. Istri dan anaknya telah lama terlelap.
“ Oi, maaf kemalaman “ seru yang dinanti mematikan motor
dan bergegas turun. Rupanya datang sendiri.
“ Tak apalah. Mari masuk “ tukas Hardy.
*****
Ibu mertua melanjutkan cerita : Terhadap para
karyawannya, beliau sangat perhatian. Apalagi menyangkut urusan perut. Beliau
akan sangat naik pitam bila mendapati karyawan tidak diberi makan.
Walaupun sumbangsihnya seakan tak pernah berhenti, namun
tidak pernah terdengar seorang Haji Alih kekurangan penghidupan. Malah dari
tahun ke tahun hartanya terus bertambah. Setiap yang disentuhnya akan berubah
menjadi emas.
“ Walau hidupnya berlebih, kehidupan keseharian Haji Alih
sangatlah bersahaja. Kalau bepergian, beliau lebih suka menggunakan ‘dogong’nya
itu. “ ujar nenek mertua.
“ Apakah beliau tidak punya mobil bagus ? “ tanyaku.
“ Tentu saja punya. Beliau membeli mobil kijang keluaran
terbaru kala itu. Namun hanya disimpan di garasi saja. “ jawabnya.
“ Oohh “ timpalku terheran heran.
Perhatiannya terhadap sesama luar biasa. Pernah terjadi
seorang tetangganya membuat hajatan perkawinan putri mereka. Melihat banyaknya
tamu yang datang, Haji Alih menjadi resah, sehingga memanggil yang empunya
hajat. Dia memberikan tambahan uang buat jaga jaga, bila jamuan tidak
mencukupi. Jumlahnya tidak sedikit.
Itulah kehidupan
yang luar biasa Haji Alih. Belum seorang ibupun yang melahirkan kembali jenis
mahluk seperti beliau.
Ketika wafatnya, ribuan pelayat mengantarkannya ke
peristirahatan terakhirnya. Hidup Haji Alih!
Tapi, tunggu dulu. Masih ada catatan tersisa dari nenek
mertuaku.
Kala itu beberapa hari setelah Haji Alih wafat. Nenekku
suatu sore masih mengerjakan menjemur kapuk untuk dijadikan bahan pengisi
bantal dan kasur. Karena kapuk yang harus dibersihkan masih banyak, tak terasa
waktu sudah menjelang magrib. Sareupna
kalau kata istilah orang kampung. Nenek terus saja bekerja. Tanggung katanya.
Tiba tiba melintas seorang tua dan berkata : sudahlah bekerjanya nek, hari
sudah sore. Nenekku menoleh : itu Haji Alih !
Jam menunjukan pukul 3 dini hari. Aku menguap. Lalu
tertidur. Kali ini tanpa mimpi.