11 Hari Usus Buntu (53)
Bab IX
Pendekar Mie Ayam
Rabu hari ke 9. Bila ini balap sepeda, hari ke 9
dibaratkan 100 meter memjelang finish. Segalanya tiba tiba berlangsung cepat.
Kateterku diinstruksikan dilepas. Mantri Elang menjadi eksekutor. Bagiku -
dalam posisi pasien, melepaskan kateter bukanlah pekerjaan mudah. Komentar
mantri Elang bahwa anakku sekarang sudah lahir, cukup menunjukkan kemiripan
dengan proses melahirkan . Sakit. Namun, begitu selesai, plong.
Aku diijinkan menikmati makanan walau hanya bubur yang
kembali disaring. Nikmat benar. Suaraku mulai pulih. Mungkin karena belalai
yang sudah dicabut.
Aku mulai belajar buang air lagi. Pergi ke kamar mandi
dengan tiang infusan yang di bawa bawa. Aku duduk diatas sofa tamu, walau ketika bangkit masih harus
dibantu.
Sore hari aku mulai melakukan aksi keliling lobby. Sekedar menunjukan
kepada para perawat itu aku memang seorang fighter.
Cairan infusku mulai berubah warna. Sekarang warnanya
menjadi kuning. Itu vitamin, kata perawat.
Jadi ketika malam
menjelang, kondisiku jauh lebih nyaman. Aku sudah mulai menikmati siaran
televisi. Hari hari kebelakang, mendengar berisiknya televisi nyaris seperti
siksaan.
Angin berhembus sepoi sepoi. Para penjagaku sudah mulai bertumbangan.
Kuhirup nafas dalam dalam. Aku ingin semuai ini segera berakhir.
*****
Waktu menunjukan pukul 1 dini hari. Pintu kamar terbuka.
Kulihat mang Engkus melenggang memasuki kamar. Langkahnya ringan. Senyum khasnya yang juga ringan. Kuyakin ini mimpi. Tapi
ini terlalu nyata. Pintu tertutup dengan sendirinya.
Sejenak ia berdiri saja memandangiku. Aku juga tidak dapat berkata kata.
Mang Engkus adalah
tukang mie ayam yang biasa mangkal di perumahan pada sore hari. Anak anakku
adalah pelanggan setianya. Teng, teng, teng adalah irama akrab mangkuk yang
dikentring sendok. Waktunya bersamaan saat mang Ewok
memungguti sampah warga. Namun gerobaknya menuju arah menurun. Gerobak mang Engkus arahnya menanjak keatas. Bolehlah dikatakan seperti
kereta berpapasan dengan jadwal lewat yang rutin tiap harinya.
Aku cukup akrab dengan mang Engkus. Lebih lebih ternyata ia pandai memijat.
Jadi diluar jam kerja jualan mie ayam, aku sering mengundangnya untuk memijat
ke rumahku. Pijatannya enak. Ditambah dengan ramuan daun bebadaotan dan cecenet
yang dibawanya, badan menjadi segar. Ramuan lain andalannya adalah kunyit
hitam, telor bebek, dan madu. Ini benar benar menambah stamina.
Tidak hanya itu.
Ternyata dia adalah juga pesilat handal jebolan Cimande. Jurus andalannya adalah opat kalima pancer.
Tentu saja bicara Cimande pasti bicara minyaknya. Menurut mang Engkus, minyak
Cimande hanya dapat dipanen setahun sekali. Stoknya terbatas. Khasiat minyak
ini adalah dapat merapatkan luka dengan cepat dan menyembuhkan patah tulang.
Jadilah mang
Engkus tukang mie ayam paling keren.