11 Hari Usus Buntu (54)
“ Bagaimana gan, sudah mendingan ? “ panggilan ‘gan’
adalah panggilan olok olokan kalau kami lagi ngobrol.
“ Alhamdulillah, mang. “ jawabku.
“ Syukurlah. “
“ Maaf baru bisa nengok. “
“ Ngak apa apa. Tapi, ngomong ngomong, ini benar mang
Engkus ? “ tanyaku tajam. “ Coba jawab, pembicaraan terakhir kita di perumahan
mengenai apa ? “
“ Tentu saja saya mang Engkus. Asli. Pembicaraan terakhir
kita mengenai berapa gerobak mie ayam yang dipunyai grup mie ayam Cianjur. Itu
kan ? “
Aku mengangguk membenarkan.
“ he..he..he. Mengenai kedatangan amang, jangan bilang
bilang ya. Ini namanya ilmu meraga sukma!
Yang datang ini cuma sukmanya amang yang mewujud alias meraga. Ilmu
tingkat tinggi nih gan! “ katanya bersemangat. Benar benar pendekar polos. Tapi
percakapan ini hanya akan terjadi antara aku dan ‘beliau’. Sejak pertama kali
berkenalan, kami seperti sahabat yang sudah lama saling kenal.
Lama kami
terdiam.
“ Maksud amang kemari, pertama tama amang pingin menengok
sahabat amang. Syukurlah Alloh masih nangtayungan
agan sehingga diberi kekuatan untuk memjalani cobaan ini. Yang kedua, inilah
mungkin saatnya, untuk menunaikan amanat karuhun amang. Yaitu untuk kembali
menjalin persahabatan sebagaimana
karuhun kita dulu bersahabat. “
Agak bingung juga aku mengikuti pembicaraan tukang mie
ayam ini. “ maksudnya ? “
“ Dahulu sekali, tepatnya pada jaman Raja Ragamulya
Suryakancana, beliau adalah Raja terakhir Pajajaran, karuhun kita adalah dua
orang prajurit yang bersahabat. Kedua
moyang kita itu bergabung dalam pasukan pengawal Raja, atau pasukan
Cakrabirawa. “ wajah mang Engkus seperti menerawang.
Nama kakek buyutnya buyut mang Engkus adalah ki Cakrabuana. Sedangkan
sahabatnya, kakekku buyut berbuyut, bernama Ki Mindakalangan. Dua orang ini
bersahabat erat. Mereka berikrar darah, artinya saling melindungi sampai mati.
Ki Cakrabuana terkenal dengan tunggangan kuda hitam yang dijuluki ‘ Ki
Hideung ‘ sedangkan Ki Mindakalangan menunggangi ‘ Ki Bodas ‘ seekor kuda
berwarna putih. Ki Bodas, artinya Si Putih. Itu panggilan buat mobiku juga…….
Sebuah kebetulan belaka, atau pola takdir yang berulang ?
Tidak ada yang
namanya kebetulan, mang Engkus meluruskan. Masa Tuhan absen dalam penciptaan
waktu dan kejadian? Tidak mungkin, kan ? Semuanya dalam kerangka desain Tuhan
! katanya berapi api, sampai nafasnya
tersengal sengal. Bisa juga si amang serius.
“ Dan sekarang “ nafasnya masih tersengal sengal, “
marilah sejenak kita kembali ke masa lalu, menengok kembali kiprah para kakek
kakek kita itu ketika berjuang demi kehormatan “
Aku menafsirkan kata kata mang Engkus sebagai pengantar
untuk dongeng beliau menceritakan para karuhunnya itu. Ternyata aku salah.
“ Amang akan membawa sukma agan ke masa lalu. Bersiaplah.
“ katanya sambil mengarahkan telapak tangannya ke arah ubun ubunku.
“ Tunggu dulu. Maksud amang, gimana ? “ sergahku.
“ Maksud amang, sukma kita berdua akan mundur ke masa
lalu. Sukma amang yang akan membawa sukma agan, seperti tandem dalam terjun
payung. Kita akan mengarungi waktu, melihat kembali kejadian kejadian lampau,
tepatnya kehidupan para karuhun kita itu.”
“ Bagaimana bisa. “ bantahku.
“ Hanya bisa dijawab dengan pengalaman. Jadi, bersiaplah.
“
Aku meyerah. Aku biarkan saja tangan mang Engkus
beroperasi di kepalaku. Perlahan lahan aku merasa ringan, melayang layang di
udara. Kubuka mataku. Uh, aku melihat sesosok tubuh di hadapanku, dari pusarnya
terjuntai seutas tali berwarna keperakan dan menyambung ke padaku. Tubuh
itu… tubuhku ! Aku sudah mati ! Aku
sudah mati !
Belum. Sebuah suara mengingatkan. Itu mang Engkus.
Ingat, katanya, kita sedang melepas sukma. Aku bergidik. Baiklah, sebagai
pemanasan, amang mau bawa agan jalan jalan keluar dulu.
Aku dibawa melayang keluar kamar, ke arah Lobby. Masih lobby yang sama,
namun dengan tambahan jalan menuju belakang lobby tembus ke pagar tetangga. Itu
jalan dalam alam 4 dimensi, jelas mang Engkus. Tidak kelihatan dengan mata
telanjang.
Sebenarnya ide ide itu banyak keluar dalam film matrix. Suatu saat,
pencapaian teknologi memungkinkan kita menembus alam 4 dimensi ini. Itu bukan
suara mang Engkus. Kutengok ke samping, sepertinya aku mengenalnya. Dimana aku
pernah ketemu. Dimana ? sebelum sempat bertanya, dia sudah berlalu cepat. Tak
kenal, kata mang Engkus menggeleng geleng kepala.
“ Baiklah, gan. Kita akan memasuki tahap ke dua.
Bersiaplah. “ nyaris seperti tahap pertama, gelap sejenak, aku sudah berada
ditempat lain.