11 Hari Usus Buntu (56)
Mendung bergelayut di atas Pakuan, ibu kota kerajaan Pajajaran. Nampaknya
benteng istana Pakuan akan segera jatuh ke tangan pasukan Banten.
Sebenarnya benteng dengan parit paritnya mustahil untuk ditembus. Desainnya
telah disempurnakan dari jaman ke jaman. Pertama kali sistem pertahanan
didesain Raja Banga, jaman kerajaan kuno Sunda Galuh. Mencapai puncaknya pada
saat Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi bertahta. Sentuhan portugis mulai
nampak. Saat itu beliau sudah menjalin kemitraan strategis dengan Poutugis
sebagai penguasa selat Malaka.
Kemungkinan benteng jatuh hanya disebabkan satu hal : pengkhianatan orang
dalam. Rumor sudah berhembus bahwa pihak Banten telah mempunyai informasi orang
dalam mengenai kondisi benteng. Dan benar saja. Asap mengepul dari dalam
benteng, tanda kejatuhan. Pasukan Banten terus merengsek ke dalam benteng.
Benteng jatuh! Istana di bumi hanguskan. Musnahlah dalam sehari, sebuah
kerajaan yang telah berusia 1500 tahun.
Raja Ragamulya Suryakancana, berhasil keluar dengan selamat beserta pasukan
yang masih setia kepada beliau. Namun kursi emas ‘pacalikan‘ tempat para raja
raja Sunda dinobatkan berhasil direbut. Simbol yang meneguhkan merekalah
penerus kerajaan Tatar Sunda. Namun mahkota Raja berhasil diselamatkan dan
dititipkan ke Kerajaan Sumedang Larang. Letaknya di Kabupaten Sumedang sekarang. Jadi tidak satupun pihak dapat dianggap sebagai penerus syah Kerajaan Sunda.
Orang orang Banten
terus mengejar sisa sisa pasukan Pajajaran. Mereka bergerak menuju arah
Selatan, Palabuhanratu, pilihan terbaik karena bila melaju ke arah timur,
kemungkinan kesultanan Cirebon sudah siap menghadang. Nampaknya nama
Palabuhanratu menjadi suratan takdir nasib mereka, menjadi palabuhan terakhir
dari sang Ratu, ibu pertiwi yang menaungi mereka berabad abad.
Kelelahan
dan pertempuran sporadis sepanjang pelarian membuat pasukan terpecah. Strategi
memaksa mereka untuk bertahan sampai mati sehingga memberi kesempatan bagi Raja
untuk menjauh. Pasukan yang setia ini banyak yang terspisah dari sang Raja.
Kepedihan mendera mereka. Mereka adalah parajurit yang dari awal digembleng Sri
Baduga Maharaja sendiri. Mereka setia mengabdi secara turun menurun. Berpisah
dengan Rajanya seperti berpisah dengan nyawanya sendiri.