11 Hari Usus Buntu (57)

        Ki Mindakalangan terkapar. Perut bagian kanan bawahnya terluka parah. Sayatan sebesar 10 cm tidak akan membuatnya terjungkal. Namun senjata lawan telah diolesi dengan racum mematikan. Tidak lama bibirnya membiru, nafasnya sesak. Tanda racun sudah mulai bekerja ke seluruh tubuh.
    Ki Cakrabuana memburu memacu ki Hideung kembali ke lokasi pertempuran. Setelah berhasil mematahkan lawan terakhir, sedianya dia akan bergabung dengan Ragamulya. Namun sang Raja bijaksana menunjuk jarinya ke belakang, ke lokasi pertempuran masih berlangsung. Jauhnya sekitar 500 meter.  Seketika dia balik badan.
     Namun pertempuran telah berhenti. Debu debu perkelahian telah kembali turun ke tanah. Diantara tubuh tubuh berserakkan, dilihatnya sahabatnya sedang terkapar meregang nyawa. Seketika dia memburu ke arah Mindakalangan. Bibirnya bergetar. Emosi meledak di kepala Cakrabuana. Bagaimana mungkin dia akan kehilangan sahabat sehidup sematinya ini. Air mata mengalir deras.
     “ Keparat ! keparaaaat ! “ teriaknya. Matanya nyalang melihat berkeliling mencari sisa pasukan lawan. Namun suasana hening yang tersisa.
     Daerah itu adalah Citorek, tempat dimana orang tak bisa mendengar hal lain kecuali kebisuan. Letaknya di kaki Gunung Salak. Kelak para mantan anggota pasukan yang masih hidup mendirikan kasepuhan. Semacam kampung mandiri, yang hidup taat berdasar adat.
   “ Sudahlah…. Cakrabuana. Ajalku segera tiba… “ erang Mindakalangan, wajahnya dipaksakan tersenyum.
     “ Tidak, aku masih punya penawar racun. Ini.” Katanya mengeluarkan botol kecil dari tanah liat.
     “ Jangan kau bodohi aku. Engkau sendiri tahu, ini racun jenis apa, Cakra…. “
     Tentu saja. Itu Jenis racun sesat yang didapat dari air liur mayat yang digantung selama 40 hari.
   “ Dengarkan aku cakra, sewaktu otak bodohmu berteriak teriak tadi, aku mendapat penglihatan. “ suaranya sudah nyaris tercekik. Kakinya sudah mulai bergetar. Aku tahu tanda tanda getaran itu ! Cakrabuana panik.
     “ Kelak anak cucu kita akan tetap bersahabat. Bila mereka terpisah, satukanlah lagi. Aku titip kepadamu. Bersama mereka akan kuat ketimbang sendiri sendiri. Ingatlah itu Cakra ! “
     “ Tentu saja. Ingat, kita bersaudara, sampai mati “
   “ Kelak salah satu anak cucuku akan terluka percis seperti yang ku dapat hari ini. Namun dia akan bertahan. Aku mohon anak cucumu mencari anak cucuku pada saat seperti engkau mendapatiku hari ini. Aku tahu pencapaianmu dalam meraga sukma. Gunakan itu untuk menyaksikan indahnya persaudaraan kita hari ini. ” Ki Mindakalangan muntah darah. Getaran tubuh itu sudah mencapai pusar.
                              *****
     Drama itu terlukis nyata dalam penglihatan rohaniku. Tiba tiba aku teringat bekas luka operasi itu. Kusentuh bagian kanan bawah perutku. Ki Mindakalangan benar adanya.
                              *****
     Pikiran ki Cakrabuana kembali ke saat saat mereka di Kesatrian, dimana malam malam setelah berlatih kanuragan, mereka biasa mengobrol ngalor ngidul. Mindakalangan seorang humanis. Walaupun seorang prajurit, dia tetap mencela peperangan peperangan yang tidak perlu.
     “ Aku pikir, peperangan ini tidak perlu. Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, dan kerajaan Pajajaran bisa hidup berdampingan dengan damai. “ kata Mindakalangan sambil mengelus kucing kesayangannya. Peliharaan tak biasa bagi seorang prajurit.
     “ Orang orang Banten menyoal kepercayaan yang kita anut….. ” jawab Cakrabuana.
   “ Engkau tahu, leluhur kita Maharaja Bunisora ? Dialah Raja yang terpaksa naik tahta karena Prabu Linggabuana gugur di Bubat. Apakah dia kemudian mengobarkan peperangan dengan Majapahit sebagai upaya balas dendam. Tidak. Apakah Dia tidak berani Melawan Majapahit. Tidak. Seorang linggabuana berbekal iring iringan pengantin berani melawan pasukan lengkap Gajah Mada. Sampai mati. Sang puteri, Dyah Pitaloka dengan keberanian seorang puteri Raja,  memilih bunuh diri untuk membela kehormatan ayahandanya. Itu kalau kita bicara martabat dan kehormatan. “ Kucing dipangkuannya melompat kaget. Ia mengeong lalu ngeloyor pergi.
     “ Tidak “ lanjutnya. Bunisora tahu memilah masalah. Tragedi Bubat bukan kesalahan kolektif elit Majapahit. Itu akibat ulah segelintir orang dengki. Kedengkian yang membuatnya buta. Tidak pantas dua kerajaan besar berperang karena ulah segelintir orang dengki.
                                   *****
     Si Kucing peliharaan Mindakalangan ngeloyor pergi dan secepat kilat melompat ke pagar, konsol, dan akhirnya bubungan. Saat itu kemarau, atap terasa masih hangat sisa lembayung sore. Ini tempat rendezvous favorit para kucing. Seekor kucing lain bergabung.
     “ A-ha si kucing kesayangan Mindakalangan, apa kabar ? “ kata si kucing yang baru datang.
     “ Baik, bagaimana pula kabar Sunda kalapa, aiiihhhh, namanya sekarang Jayakarta, yah ? “ dua sahabat saling menyindir.
     “ Wah, kamu pasti tidak percaya. Aku baru saja melihat kapal besar baru mendarat. Orang orangnya tinggi besar. Berkulit putih, berambut pirang. Mereka membawa senjata yang lebih canggih dari yang kita punya. “
     “ Itu orang Portugis….. “
     “ Tadinya juga kupikir begitu. Tapi kata orang orang, itu bangsa lain. Namanya bangsa Belanda.”
     “ Makin ramai saja Jayakarta. “
     Bulan bersinar penuh di langit. Awan menipis tahu diri. Di kampung seberang, anak anak mulai memainkan permainan tradisional. Mereka tak terpengaruh gentingnya situasi negara akhir akhir ini.
     “ Aku jadi teringat ramalam panutan kita, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Kelak Kita akan dikuasai Kerbau Bule dalam waktu yang sangat lama. Kamu masih ingat kawan…… ? “ tanya si kucing Jayakarta.
     “ akhir akhir ini pikiranku terganggu oleh ramalan beliau itu. Rasanya masa itu sudah dekat. Aku sudah berwasiat kepada anak cucuku agar mereka bersumpah setia kepada Negara. Aku memberikan kesetiaanku kepada Ki Mindakalangan, dan aku minta mereka juga memberikan kesetiaan kepada anak dan cucu ki Mindakalangan. Jaga mereka, sebisa bisa yang bisa mereka lakukan. Bagaimana denganmu ? “
     “ Kamu tahu, hidupku sepertinya di abdikan untuk sang pengelana waktu. Ketahuilah kawan, dimanapun mereka berada, mereka cenderung berbuat kerusakan. Malaikat sudah mengingatkan ini sewaktu penciptaan Adam. Namun Tuhan berkehendak lain…  Aku sudah bergembira ketika Tuhan mengirim air bah dan menenggelamkan bumi ini dengan menyisakan Nuh dan beberapa gelintir orang… nyatanya mahluk jenis manusia ini bertahan…. ”
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca