11 Hari Usus Buntu (60)
Bab X
Tuhan buka kartu
Kamis hari ke 10.
Seperti film thriller, hari ini merupakan klimaks cerita. Tuhan berbaju putih
datang lebih pagi. Kembali didengarnya lagi suara perutku. Instruksinya jelas
singkat, buka jahitan dan cabut selang
drain.
Senang dan ngeri. Senang karena penderitaanku mendekati
akhir. Ngeri karena membayangkan pembukaan jahitan dilanjutkan pencabutan
selang drain. Dua duanya dikerjakan
dua malaikat perempuan. Untuk terakhir kali aku mohon maaf untuk tidak
menceritakan rasanya di buka jahitan dan dicabut selang.
Penampilan tuhan berbaju putih lebih nyantai sekarang.
Hari ini mungkin lebih tepat disebut tuhan berbaju batik. Kesempatan tak ku sia
siakan untuk bertanya seputar usus buntu. Walaupun agak kaku, aku sedikit dapat
menangkap yang beliau maksud. Ada masalah pada saluran pembuanganku. Tidak
selalu dari jenis makanan,
katanya. Sebuah penjelasan yang tidak terlalu
menjelaskan.
Aku baru sadar, dokter bukanlah guru. Guru bermodalkan
kecakapan lidah di depan kelas. Dokter bedah mengandalkan kecakapan tangan di
ruang operasi.
Menu makan mulai berubah. Makan siang kali ini adalah
bubur sum sum. Dengan lauk tahu daging. Buahnya pepaya.
*****
Walaupun belum ada kepastian kapan aku diijinkan pulang,
suasana riang sudah menyembul di kamarku. Senyum ibu ibu laundry terasa lebih
ceria sekarang. Para perawat kelihatan lebih cantik dari hari hari sebelumnya.
Bahkan para anggota boy band menerima tips dari Ninok.
Koran jatah kamar mulai kubaca satu demi satu. Indonesia belum banyak berubah. Jadi memang
kita yang harus berubah banyak.
*****
Hujan turun agak deras menjelang malam. Suhu mendingin.
Kulihat suster hilir mudik menggunakan jaket atau switer. Ruang di paviliun Seruni
penuh terisi. Bermacam macam orang dan tingkah lakunya kata
perawat yang mengganti infusku. Tapi Cuma itu saja yang mereka katakan, beda
banget dengan pembawa acara infotanitment seperti yang kutonton sekarang. Aku
matikan televisi. Sama sekali tidak bermutu.