11 Hari Usus Buntu (64)
Seorang ibu muda menangis perlahan. Air mata yang ditahan
tahan akhirnya meleleh juga di pipinya. Anaknya yang berumur enam bulan
tertidur di pangkuan. Sementara puteri sulungnya yang SMP acuh tak acuh
mengotak atik komputer.
Ini pertengkaran yang ke sekian kalinya. Sang suami benar
benar depresi berat. Harga dirinya terluka akibat rotasi yang ancur ancuran di
tempat kerja. Sikapnya mulai berubah ekstrim. Dan keluarga harus turut
menanggungnya.
Sambil bersungut sungut tak jelas sang suami membanting
pintu. Beberapa hari belakangan, suaminya kerap keluyuran ke tempat tempat tak
jelas dan bertingkah laku abnormal. Beberapa kenalan memergokinya sedang komat
kamit di sebuah makam keramat. Kali lain dia memamerkan cincin batu ali, dan
sesumbar dihuni karuhun kakeknya.
Seruni yang mendampingiku seharian ini tidak banyak
berkata kata. Ia hanya membawaku pada situasi yang harus aku interpretasikan
sendiri. Sebenarnya tanpa harus menginterpretasipun adegan demi adegan sudah
jelas dengan sendirinya.
*****
Angin sepoi sepoi berhembus diantara dedaunan pohon
beringin besar. Pohon itu telah menjadi trade mark Kolam Renang Prana, salah
satu kolam renang paling tua di Kota Sukabumi. Namun jaman telah menggilas
kolam renang itu. Tak terurus, kalah oleh pendatang pendatang baru yang
menawarkan water boom dan kesenangan lainnya.
Aku
berbincang dengan mang Engkus di bawah rindangnya pohon ini.
“ Nikmatilah teduh pohon ini selagi bisa. Beberapa minggu
lagi, pohon ini akan ditebang habis “ katanya sambil menguap. Gerobak mie ayam
mengepulkan asap putih dari panci kuahnya.
Beberapa kendaraan melintas malas. Panasnya cuaca
memjadikan orang malas keluar rumah. Anak anak juga malas keluar rumah. Di usia
kecilku, dalam suasana begini, geng bermainku pasti akan segera ke sungai atau
nyebur ke kulah mesjid.
Tapi ini tahun 2000an, sukar mencari sungai yang layak
direnangi, mesjid mesjid tak lagi berkulah. Di rumah, televisi menyala 24 jam.
Bermacam makanan jajanan yang distok ibu ibu mereka, turut mencegah mereka
bermain keluar rumah. Sebentar lagi diabetes akan menyerang pada usia yang
lebih dini.
“ Saya ingin mengucapkan terima kasih. Amang telah
mengajak saya mengenal para karuhun. “
Tadinya aku
skeptis dengan upaya napak tilas para karuhun ini. Namun pengalaman dengan mang
Engkus membuatku berpikiran lain. Para karuhun menawarkan banyak pengalaman dan
kebijaksanaan. Mereka berbuat kesalahan, dengan pesan jangan ulangi lagi
kesalahan ini.
“ Sami nuhun.
Amang juga berterima kasih karena satu amanat telah ditunaikan. Sebuah beban
telah lepas dari pundak amang. “ jawabnya ringan.
Aku jadi bertanya tanya apakah menjadi tukang mie ayam
adalah hobi, suka atau karena sempitnya pilihan yang tersedia. Namun urung
kutanyakan hal itu. It’s too personal.
“ Sempat saya mendengar percakapan beberapa prajurit Pajajaran sewaktu pengembaraan kita, mang “ kataku kembali membuka percakapan.
“ Mengenai apa itu, gan ? “
“ Mengapa Pajajaran begitu cepat mengalami kemunduran “
Wajah mang engkus berangsur kelabu. Mendengar kata
‘mundur’ membuatnya sedih dan tak rela.
“ Bagaimanapun, kita harus menerima dan belajar terhadap
apa yang telah terjadi “ kataku menghindari kesan menggurui. Mang Engkus
mengangguk setuju.
“ Mereka bilang, Pajajaran ketinggalan satu langkah.
Mereka tak Punya meriam. Banten dan Cirebon telah dipersenjatai meriam. “
jelasku.
“ Teknologi “ tanggap mang Engkus singkat.
“ Ya. Dan satu lagi. Sebelum Ragamulya, ada raja yang
terlalu mengandalkan ilmu mistik untuk menghadapi lawan. Bendera bendera jampi
diyakini bisa menakuti musuh. Dan yang lebih parah….. kebiasaan minum untuk melupakan masalah “
Kini wajah mang Engkus tertunduk. Aku tak tega
melihatnya.
“ Sudah berlalu… sudah berlalu….” Kudengar dia berbisik pada
diri sendiri. “ andai amang bisa berbuat sesuatu….” Matanya menerawang.
“ Kita ini hanya anak anak sejarah. Tapi sebuah janji
kecil diantara kita akan mengubah sejarah, mudah mudahan “ cetusku. Sesaat mata
mang Engkus memandangku. Kelihatan tertarik.
“ Saya ingin amang dan saya membuat ikrar demi anak cucu…
“ usulku.
“ Apa itu, gan ? “ jawab mang Engkus.
“ Berjanjilah, sekali lagi berjanjilah. Anak cucu amang
harus di sekolahkan setinggi tingginya. Dan anak cucu kita, akan bersahabat selamanya. Sampai akhir jaman ! “ kata kataku jelas,
tegas.
Mata mang Engkus berkaca kaca.