11 Hari Usus Buntu (67)
Maharesi Goalpara mencelupkan kedua kakinya ke aliran
sungai yang dingin yang membelah kawasan Pondok Halimun. Bila Tuhan menciptakan
kawasan Puncak sambil tersenyum, aku yakin Tuhan menciptakan Pondok Halimun
sambil terkekeh.
Kakinya digoyang goyangkan membuat percikan air. Walaupun
saat itu tengah hari, tetapi hawa di kaki gunung Gede Pangrango tetap sejuk.
Aku hanya berjongkok di salah satu batu.
Maharesi Goalpara dikenal mempunyai reputasi yang tinggi
di bidang medis. Ia bukan dokter. Dari cerita cerita yang kudengar, sang Resi
mendapatkan ilmunya secara spiritual. Para karuhunnya menurunkan ilmu
pengobatan lewat mimpi mimpi.
Penyakit penyakit yang diobatinya bermacam macam, multi
dimensi. Mulai dari hipertensi sampai kanker. Mulai dari masalah masalah
keluarga sampai urusan kerja. Antrian panjang selalu merupakan pemandangan
sehari hari di depan rumahnya.
Hari ini sang Resi bebas. Ia sedang menikmati indahnya
pemandangan hutan dan kebun teh. Mau tak mau kita harus berterima kasih kepada
orang Belanda dalam hal ini, katanya. Mereka yang telah membangun Sukabumi, dan
melengkapinya dengan perkebunan yang indah indah.
Aku diundang untuk menemani pelesirnya. Tentu saja aku
senang. Namun bukan Cuma itu maksudnya mengundangku.
“ Hendaknya engkau bedakan antara praktik pengobatan
spiritual dan praktik perdukunan “ katanya memulai percakapan. Seekor burung
melintas di cakrawala.
Tiba tiba aku teringat dua orang dukun yang datang ke
ruang rawat inapku. “ Maksudnya bagaimana uwa Resi ? “ sahutku. “ Bukannya
mereka sama saja, bekerja dengan hal hal yang tak
kasat mata ? “
“ Menurut sejarahnya, ilmu ilmu gaib turun ke bumi lewat
perantaraan dua malaikat di jaman nabi Sulaiman. Pada saat itu tentu saja ilmu
yang mereka bawa bebas nilai. Namun seperti halnya pisau, kemampuan gaib itu
bisa dipergunakan untuk hal hal yang berguna. Tapi juga bisa dipergunakan untuk
melakukan sebuah kejahatan. “
“ Jadi yang membedakan mereka adalah hendak diapakan
kemampuan yang mereka punyai itu, uwa Resi ? “ aku minta penegasan.
“ Engkau mulai mengerti sekarang “
Sejumput
kabut turun dari arah gunung. Gerakannya perlahan menyapu ke arah lembah, dan
akhirnya menguap di perkebunan teh.
“ akhir akhir ini banyak praktik perdukunan palsu. “ hawa
mulai mendingin. Ku tinggikan kerah jaketku.
“ Dukun juga manusia. Mereka melakukan apa saja untuk
tetap survive. Sama seperti kita, bukan ? “
“ Bagaimana kita mengenali ciri ciri mereka ? “ kejarku.
Sang Resi malah tersenyum.
“ Jangan pergi ke dukun, nak. “ Jawabnya mantap.
“ Maksud saya, begini uwa. Mereka bukan dukun. Katakanlah
paranormal…. Seseorang yang dikaruniai bakat khusus, indigo, mutan, shaman,
healer, atau sejenisnya ? “
“ Tuhan berhak
memberikan bakat khusus kepada mereka. Mereka berhak menggunakannya untuk
kemaslahatan umat. Boleh saja. Namun yang berbakatpun kadang kadang menipu.
Mereka menipu biasanya karena dikejar dua hal : memenuhi hasrat bendawi dan
hasrat seksual. Lihat latar belakang orang ini. Bila mereka ‘normal’,
berkeluarga, punya penghidupan yang jelas, kemungkinan orang ini bukan penipu.
Di jaman sekarang orang perlu uang untuk membiayai dapur, beli bensin untuk
mobil, jajan untuk anak sekolah, dan seterusnya. Nah dari mana semua itu
didapat ? dari jampi jampi ? “