11 Hari Usus Buntu (71)
Aku berjalan
memasuki lorong yang didominasi warna merah marun. Lampu lampu redup bergerak
di atas kepalaku, atau aku yang bergerak melintasi lampu lampu yang menerangi
sepanjang koridor. Sekilas mengingatkanku pada lorong menuju ruang operasi.
Namun disini jauh lebih hangat.
Sementara dua orang pemuda tadi mengiringiku dari belakang.
Tak lama aku sampai di sebuah pintu besar berukir logam
mulia. Dua orang penjaga pintu dengan seragam yang sama mengangguk, kemudian
membukakan kedua daun pintu yang beratnya kutaksir satu kuintal perdaun
pintunya.
Aku melangkah memasuki ruangan jamuan. Sebuah meja besar
dengan kursi kursi klasik menyambutku. Taplak putih dengan anggun menjadi
backround berbagai hidangan diatasnya. Lampu lampu Kristal tergantung lembut
diatas meja. Piring, sendok, garpu dan pisau berkilauan memantulkan cahaya.
Sementara gelas minum mengingatkanku pada holly
grail. Para tamu undangan berdiri menyambutku. Pakaian mereka rata rata
berjas warna gelap untuk yang laki laki, sementara yang perempuan mengenakan
gaun malam.
Penjaga di belakangku menarik sebuah kursi, dan
mempersilahkanku untuk memdudukinya. Ternyata itu kursi utama, letaknya tepat
di ujung tengah meja, tempat para pemimpin bertahta. Setelah aku duduk, aku
mempersilahkan para tamu untuk duduk. Suara geseran kursi sejenak meramaikan
balairung.
Ting ting ting. Seseorang mendentingkan sebuah holly
grail dengan sendok minta perhatian. Seluruh hadirin memusatkan perhatian pada
orang itu. Ternyata dia adalah dokter bedah yang mengoperasiku.
“ Minta perhatian para hadirin. Malam ini kita mengadakan
jamuan untuk menghormati pemimpin kita yang telah kembali dari Rumah Sakit
dengan selamat. Jadikanlah malam ini malam yang membahagiakan untuk beliau dan
juga kita semua. Amin “
“ Amin “ sahut hadirin serempak.
Dari sisi kiri meja seorang berdiri seolah sudah
diskenariokan. Tangannya ditengadahkan mengambil sikap berdo’a. Ternyata mang
Engkus. Do’a do’a panjangnya sanggup membius hadirin sehingga seisi balairung
nyaris berhenti bernafas. Do’a diakhiri dengan mengusapkan telapak tangan ke
wajah masing masing.
Penjaga di belakangku membisikkan sesuatu di telingaku.
Ini saatnya bapak memberi sambutan, bisiknya. Sambutan ? aku tak siap dengan
sambutan. Namun pandangan para hadirin sudah tertuju padaku.
Akhirnya aku berdiri untuk memberikan sambutan. Suasana
sunyi. Aku menyapu pandanganku kepada semua yang hadir. Di deretan kanan selain
dokter bedah, ku lihat dr. Shanti. Purdy E. Chandra dan Miming Pangarah. Kemudian
tante Jessy. Di sebelahnya duduk Haji Alih, Haji Endang
Sadani beserta Paulus. Berturut turut adalah Pendeta Advent, mantri Rajawali, Elang, dan para suster.
Bahkan para boy band dan ibu ibu laundry duduk dengan anggunnya. Aku mengangguk
kepada mereka. Meja ini masih panjang. Dideretan berikutnya adalah teman teman
kerjaku. Mereka nyaris tak terlihat karena meja seakan makin menjauh.
Di deretan kiri kulihat kedua orang tuaku. Oh, Tuhan
betapa mereka sudah tua. Disusul kedua mertuaku. Kemudian Ninok, Awang, Oit,
Mang engkus, Ayah Asep, dan para legenda PS. Ciomprang. Disebelahnya adalah Maharesi Goalpara dan rombongan
keluarga beserta forum ulama Selaawi. Disusul tetanggaku dari komunitas Prana
yang selalu ceria. Total hampir 100 orang yang duduk dalam satu meja.
Ada yang mengusik hatiku. Seorang gadis cantik
dan seorang wanita paruh baya dengan wajah tegas duduk terselip diantara Awang
dan Oit. Mungkinkah mereka……