“ Seperti kebanyakan orang tua dulu, keluarga kami
dikaruniai banyak keturunan. Kami kakak beradik tujuh orang. Ditengah
keterbatasan materi, orang tua kami berhasil mendidik anak anaknya sehingga
semua menjadi sarjana. Hanya berbekal gaji PNS yang tidak seberapa waktu itu.
Kadang mereka menjual apa saja yang bisa dijual, berutang ke sana kemari agar
anak anak bisa tetap bersekolah. Dan Alhamdulillah, tujuh orang anak anaknya
berhasil menjadi sarjana. “ Suasana senyap. Hadirin masih ingin mendengarkan.
“ Saya masih ingat betapa bersahajanya kami hidup dulu.
Pernah suatu ketika kami hanya punya sepotong ikan peda. Sepotong ikan itu kami
potong potong sehingga semua anggota keluarga bisa makan saat itu. Kami sering
melewati saat saat sulit. Mungkin kesulitan kesulitan yang kami alami membekas
dalam hati setiap anak, terutama untuk anak pertama seperti saya. Sejak saat
itu saya bertekad apabila saya sudah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri,
maka saya akan membalas dendam akan membeli apa saja yang bisa dibeli, dan
makan apa saja yang bisa dimakan. Sebuah dendam yang salah dan berakibat fatal.
“ suara hadirin mulai berdengung.
“ Sejak saya mempunyai penghasilan sendiri, sejak itu
pula saya mulai berpestapora. Kebiasaan yang terus berlanjut sampai
berkeluarga. Lemari es kami dipenuhi makanan makanan yang memanjakan perut.
Bahkan yang sebenarnya tidak berguna dan membahayakan kesehatan keluarga. Kami
mulai seperti maniak kuliner yang berkeliling dari satu gerai ke gerai lainnya
hanya untuk melampiaskan nafsu memuaskan lidah. Sampai akhirnya sebuah tes
darah menghentikan saya. Saya bersyukur, Tuhan telah bertindak lebih awal “ sejenak kuberhenti.
“ Lho, kenapa harus bersyukur? “ aku melanjutkan agak
sedikit ngabodor. “ kebayang, kan
jika saya datang dengan gula darah 800, waaahhhh….bisa langsung game point tuh….. “ mereka melanjutkan tertawa
sopan bahkan sebagian ada yang bertepuk riuh.
“ Baiklah ini yang lebih serius. Tuhan kelihatannya masih
sayang kepada si pendosa ini. Dipaksanya saya datang ke rumah sakit walau
diembel embeli operasi usus buntu. Dan begitulah, akhirnya saya dioperasi.
Makasih dok “ kataku sambil membungkuk ke dokter bedah. Dokter balas
mengangguk.
“ Terima kasih juga dok “ kali ini aku membungkuk ke arah
dr. Shanti yang menbalas dengan senyum kecilnya.
Seorang hadirin nampak mengacungkan tangannya. Oh, itu
Ayah Asep. “ Bagaimana rasanya dioperasi? “ tanyanya. Hadirin yang lain
mengiyakan pingin tahu juga.