11 Hari Usus Buntu (75)

     “ Tiada yang lebih membahagiakan bagi si sakit, ketika sahabat sahabat datang menjenguk. Baru terasa, bersahabat jauh lebih berarti ketimbang berselisih. Saya merasakannya hadirin. Diri ini merasakannya! Demi Allah! “ Rasanya aku mulai habis habisan.
     “ Dan…… “ aku memainkan tempo “ Ditengah kehausan dan suntikan suntikan yang harus saya terima setiap hari, seorang suster datang membawakan kisah. “
     Aku menyetop dulu kalimat biar efek penasaran mulai terbentuk.
     “ Dia bertutur…. membawa saya ke masa depan, untuk menjenguk seorang cicit yang dengan ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk merawat sang ibu yang kena stroke. Malu saya, karena diri ini tak mungkin mau melakukan hal serupa itu. “ aku mengakhiri kata kata terakhir dengan menggeleng geleng kepala tanda penyesalan. suara bisik bisik mendengung untuk mencari tahu siapa suster dimaksud, siapa pula cicit yang dimaksud. Ada juga hadirin yang mulai tersedu.
     “ Aduhai, apakah jaman akan kembali melahirkan anak anak yang sedemikian berbaktinya kepada sang bunda ? oh, jaman, tidakkah kau dengar ? “ nadaku melengking. Aku nyaris berpuisi sekarang. Orang orang terhenyak.
     “ Tuhan, Tuhan, jadikanlah anak cucu kami orang orang yang berguna untuk sesamanya, Tuhan ! “ aku melolong, meratap, seperti da’i yang sedang bertausiyah. Balairung menjadi sunyi. Senyap yang panjang.
     Perlahan kuturunkan suaraku “ marilah kita berdo’a untuk cucu kita. Semoga kehidupan mereka jauh lebih bernas dan bersahaja “
     “ Amin “ serentak hadirin menimpali. Balairung kembali sepi.
     “ Terima kasih saya untuk orang tua…… “ Aku tak sanggup melanjutkan. Aku hanya bisa terpaku menatap wajah tua mereka. Menahan emosi tidaklah mudah. Ditambah sebagian hadiran sudah mulai sesegukkan.
     Aku menghirup nafas panjang. Harus kuselesaikan pidato ini. Suaraku agak serak serak sekarang.
     “ Terima kasih juga saya haturkan untuk para karuhun yang telah sudi menerima kedatangan kami. Kini kita tahu, sejarah mereka tidak melulu kisah peperangan. Banyak hal hal mulia yang telah mereka kerjakan. Kita bukan saja mewarisi darah yang mengalir dari mereka, namun juga mewarisi kesalahan kesalahan mereka untuk tidak mengulanginya lagi, selagi kita mau belajar “ Dua orang ksatria karuhunku berdiri dan menyidekapkan tangannya memberi hormat.
     “ Untuk cucu dan cicitku “ lagi lagi aku harus menahan emosi. “ maafkan kakek. Kakek bukanlah kakek yang sempurna untuk kalian. Terima kasih kepada kalian yang telah mengajariku bagaimana seharusnya bersikap kepada orang tua. Entah dari mana kalian mendapatkan kebijaksanaan semulia itu “  Seruni menitikkan air mata, Laila, seperti ku tebak, tetap tegar, wajahnya tidak berubah.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Paling Banyak Dibaca