11 Hari Usus Buntu (39)
Aku memijit tombol STOP. Walkman berhenti berputar. Pukul 11.45 malam. Kerongkonganku serasa
terbakar. Aku mengerang. Ninok memberiku sesendok air sambil terkantuk kantuk.
Infus juga diganti. Aku juga minta diganti baju. Keringat membasahi badanku,
juga sprei dan tempat tidur. Aku mencoba tidur. Tak bisa. Kunyalakan lagi
walkman. Suara merdu si Back Packer kembali menyapa.
*****
“ Ceritakan tentang Abah Sepuh, “ pinta Seruni. Ibunya
sedang membolak balik album lama. Berulang kali dia balik lagi ke halaman
dimana kakeknya dengan bangga memangku dan mencium laila kecil.
“ Dia orang yang mencintai ibu melebihi dirinya sendiri.”
Matanya tetap pada photo itu.
“ Oh, ya ? “
“ He did it “
Seruni memandang photo itu dari balik punggung ibunya.
Abah Sepuh tersenyum dengan Laila kecil di pelukan. Berkumis dan berjanggut
tipis. Dia memang bangga dengan cucunya. Dia selalu mencintai anak anak
perempuan, katanya suatu saat. Mereka memberikan pelukan dan ciuman setiap
saat. Ini yang menjadikan setiap laki laki perkasa mempunyai sisi lembut.
“ Tahukah kamu, Seruni, momen apa yang selalu kukenang dengan abah Sepuh
? itu saat buyutmu berbaring lemah
menjelang ajal. Tak kulewatkan seharipun untuk menemaninya saat itu. Lagian
beliau pernah bilang waktu itu bahwa dia ingin pergi dalam pelukan Laila “.
Pikiran Laila menerawang. Ingatannya kembali saat saat perpisahan itu.
Seperti biasa, abah menggenggam tangan Laila sebagai kebiasaan favoritnya.
Sepertinya dia menikmati betul persentuhan kakek – cucu dengan cara seperti
itu.
“ Aku bangga padamu Laila “ jemari tangannya tak henti mengelus ngelus
tangan cucunya itu.
“ Terima kasih, kek “ jawab Laila singkat.
“ Saat kamu kecil, di akhir pekan aku sering membawamu jalan jalan
ke kota Bandung. Tak pernah kulewatkan
untuk membawamu ke jalan Ganesha. Kamu tahu kenapa ? “
“ Tidak, kek “
“ Aku meniru apa yang dilakukan ibu seorang Winston Churchil. Saat
kecil, Churchil selalu dibawa mengunjungi Downing Street 10. Dan ibunya selalu
bilang kelak kamu akan berada disana. Churchil kemudian dikenang sebagai salah
seorang Perdana Menteri terbesar Inggris dan sukses melewati saat saat sulit
ketika Jerman memborbardir London pada perang dunia kedua. “
Nafas abah tinggal satu dua. Namun masih tetap bersemangat.
“ Tak sekalipun aku pernah mencelamu. Lidahku basah dengan pujian betapa
cantiknya engkau Lailaku. Betapa pintarnya kamu dibanding yang lain. Betapa
kuatnya pisikmu mengalahkan teman temanmu “
“ Benarkah semua itu, kek ? “
“ Aku harus jujur padamu. sebenarnya kamu sama saja dengan teman temanmu
itu. Bedanya adalah ada kakek yang selalu menanamkan citra itu dibenakmu. Ada
kakek yang selalu meneguhkanmu. Ada kakek yang selalu berdo’a untuk hal hal
baik untukmu “
Laila terdiam.
“ Aku rasa aku berhasil mendorongmu menjadi seperti yang aku inginkan.
Walaupun engkau tak jadi berkampus di Jalan Ganesha. Fakultas kedokteran
kupikir lebih cocok untukmu….”
Saat itu tahun kedua Laila di Fakultas Kedoteraan.
“ Namun aku sedikit kecewa terhadapmu, Laila…”
Laila terkejut.
“ Kamu terlalu serius menjalani hidup. Kulihat garis garis keras di
wajahmu. Nikmatilah indahnya hidup selagi bisa, cucuku “
“ Dia menjadikanmu seorang Puteri. Are you happy, mom ? “ pertanyaan Seruni membangunkan Laila
dari lamunannya. Seruni menarik nafas,
“ More then word can
say “